BAWANG BOMBAY DAN MASA DEPAN

2 komentar Tuesday, December 29, 2009



          Wanita memang harus selalu memilih dalam hidupnya. Memilih baju apa untuk hari ini. Bros apa yang serasi. Warna lipstik apa yang pas dengan sepatu. Dan menurutku yang paling susah adalah memilih menu masakan. Aku lebih baik menulis berlembar-lembar naskah daripada harus memikirkan menu makan malam. Apalagi ketika membuka lemari es, hanya tampak bawang bombay dan telur berlinang-linang. Apa yang bisa kulakukan dengan dua benda mati ini? Berfikir. Laptop. Koneksi. Google. Dan wangsit itu pun datang berwujud deretan-deretan nama situs masakan. Salah satu situs yang paling sering kukunjungi adalah dapurnya mba’ asri di sini. Voila! Telur masak kecap disiram bawang bombay untuk makan malam ini.
          Bayiku demam tinggi. Sebenarnya, aku adalah seorang dokter. Tapi dalam keadaan sekarang, aku hanyalah seorang dokter yang panik. Ternyata semua ilmu dan kepercayaan diri bisa menguap menghadapai anak sendiri yang sakit. Harus apa sekarang? Obat apa yang tepat? Kompres dingin atau hangat? Berapa dosis ibuprofen? Alhamdulillah masih ingat situs penyelamat, MIMS di mana kita bisa bertanya obat apapun. Dan percayalah, bila kau terpaksa memerlukan "cara manual membantu persalinan" pun (walau aku tidak bisa membandingkan proses persalinan dengan memasang antena TV baru), tidak kurang dari seratus ribu alamat situs akan menemanimu. 
           Aku sangat percaya lagu Nina-Bobo-kalau-tidak-tidur-digigit-nyamuk sebagai pengantar tidur sudahlah sangat kuno. Karena dengan lagu itu yang sudah berbuih-buih kuulang-ulang, sang bayi tetap segar bugar karena mungkin sangat teriritasi mendengar “nada ancamanya”. Iseng kucari topik dengan hashtag (#) childsong di twitter.com. Miraculously, akhirnya aku menemukan topik #mylullaby dan menemukan senandung menenteramkan miliknya Sarah McLachlan:“Pulled from the wreckage of your silent reverie,you’re in the arms of the angel.. May you find some comfort, here..”.
Setelah dinyanyikan bait itu sekali, bayiku sukses tertidur. Mungkin dia tipe bayi yang senang les bahasa inggris.
          Aku mencintai suamiku. Sangat. Tapi ada saat-saat sebal di momen-momen autis dan ketidaksensitifannya. Sehingga diam adalah senjata termudah yang kuhunuskan. Namun diam itu malah melengkapi konflik karena dia akan datang dengan wajah datar dan apatis sambil bertanya singkat “Ada apa? Everything’s okay? Dari kemarin kok manyun?”. Grrrhhhh! Kuberitahu ya, bila ditanya seperti itu, sampai kiamat pun wanita tak akan bercerita penyebab ngambeknya. Seringkali satu-satunya jembatan kebisuan saat ini adalah lewat e-greeting yang kukirimkan ke emailnya. Lewat itu aku bisa bebas ‘ngomel’ agar dia tahu bahwa everything is NOT okay. Namun kemudian hati kerasku pun meleleh perlahan –lahan setelah e-greeting balasan masuk ke emailku. 
My days are dull without you.
My heart is bleeding when you turn your face.
I know your heart is paining as well.
Honey, I am sorry. 




Wew…And I could smile again.


              Itulah kiranya gambaran hidupku ke depan. Karena nyatanya sekarang aku masih belum punya bayi yang dapat dikhawatirkan. Karena sekarang aku masih istri yang diizinkan mengandalkan warung makan sehingga tidak harus memikirkan diapakan bawang bombay dan telur tiap harinya. Karena sekarang aku masih belum lelah mengekspresikan perasaanku secara langsung dan panjang lebar di depan suami. Masa depanku, bawang bombay  dan internet ternyata akan sangat dekat hubungannya. It's always about being connected,mom!
Read On

Generasi Puskesmas

3 komentar Wednesday, December 9, 2009
Masih ingat permainan klasik kita dulu waktu kecil?
Ada permainan bola bekel, petak umpet,  Domikado, loncat tali, tali ulay,bongkar pasang, hadangan, dakuan,  masak-masakan dan masih banyak lagi..


Remember this?










Di antara serbuan  tombol dan  GPRS, mungkin permainan di atas sudah lekang oleh waktu. Padahal kita sendiri mungkin masih merasakan sampai sekarang betapa kuat kesan 'menyenangkan' saat bermain dulu. Sayang sekali masa kanak-kanak bila tidak dilewati dengan abundant of the the excitements. Dan yang jelas, permainan baheula itu lebih kreatif, lebih sehat, aktif dan kuat.

Tapi jangan khawatir, tenyata di desa masih lestari permainan-permainan asyik itu. Seperti di tempatku mengabdi.. Tiap siang sampai sore kadang istirahat kami terbangun dengan teriakan dan nyanyi-nyanyian riang sekelompok anak yang main atau berdebat siapa yang menang.

Di desa ini juga, aku baru tahu jenis ada satu jenis permainan baru. Kalau  main dokter-dokteran mungkin sudah kita tahu, tapi kalau main "Puskes-Puskesan" rasanya tidak pernah didengar ya...

Hehehe...Judul permainannya saja sudah seru.

Ternyata puskesmas sudah sangat akrab dengan anak-anak desa ini. Bagaimana tidak? dengan hiegenitas dan gizi seadanya, biasanya mereka paling tidak sekali sebulan ke puskesmas karena sakit. Pernah berantri-antrian panjang di puskes. Puskesmaslah komunitas kerja yang mereka lihat untuk pertama kali dalam hidupnya. Mungkin saat mereka dewasa, reuniannya di puskemas juga kali ya mengenang bersama puyer-puyer pahit yang telah dijejalkan ke mulut mereka ..

Pada suatu sore, anak-anak itu mulai ribut lagi dan aku juga diam-diam curi-curi mendengarkan.. Mereka
tampak sudah memainkan beberapa permainan favorit mereka sampai mereka memutuskan untuk main puskes-puskesan lagi.

"Kita main puskes-puskesan yuk!" Ajak seorang anak

"Ayukkkkk" Yang lain mengiyakan.

"Aku jadi dokternya!" seseorang mengajukan diri

"Aku jadi pasiennya" yang lain menimpali


Setelah itu mereka terlibat dalam perdebatan lagi. Akhirnya didapatkanlah salah satu keputusan yang rupanya paling penting dalam permainan itu. Karena ada satu pernyataan penutup dari seorang anak yang dikatakannya dengan bangga nan jumawa :

"AKULAH YANG AKAN JADI TUKANG PANGGIL!"



Ternyata puskesmas tidak hanya sebatas tempat si sakit yang berharap dapat obat gratis dan petugas medis yang menunggu gaji. Tapi ternyata juga menjadi tempat awal peradaban bermula. Saat cita-cita sangat mulia itu, menjadi "tukang panggil pasien" dapat dikenal.. *A tribute to Adis, si pemanggil pasien Kami*




Permainan ini juga membuatku harus tambah hati-hati saat mau mendelik atau merengut ke pasien anak-anak..
Ntar ada lagi line di kalangan mereka seperti ini:

"Aku tidak mau jadi dokter. Pokoknya tidak mau. Bu dokter di puskesmas itu galak"

Hwaaaa.. Digosipin di kalangan anak-anak is obviously a very nightmare!!


Thanks for reading,
and see ya, TS!
Read On

Siapapun..., Aku Mencintaimu…

4 komentar Monday, December 7, 2009
Kata banyak teman, saya termasuk orang yang cool, tenang dan sepertinya tidak bermasalah tentang ketertarikan terhadap lawan jenis. Kata mereka sepertinya saya tidak tertarik untuk jatuh cinta. Dan saya hanya tertawa kecil mendengarnya, sambil berlirik dalam bisik “wallahu ya’lam…” dan Allah saja yang mengetahui. Ya, hanya Allah saja yang tahu bagaimana hati ini.

Memang Fitrah seseorang untuk jatuh cinta, akan tetapi tinggal bagaimana kita menyikapi fitrah yang telah Allah anugrahkan kepada kita itu. Bagaimana penyikapan yang tepat? Dengan tidak mengeksresikan cinta (terhadap lawan jenis) tersebut. Karena pengeksresian itu tidak mendatangkan apa2, selain kerusakan hati dan amal. Dan pedih sekali, cinta itu akan menjadi tandingan cinta kepada Allah. Bukankah orang2 yang cintanya menandingi cinta kepada Allah adalah kaum kuffar? Bergidik saya, itu adalah dosa yang tak akan pernah diampuni.

Namun bila rasa itu tak terelakkan karena diri ini begitu lemah dan rapuh, ingin rasanya saya hinggapkan rasa itu pada tempat yang aman, tersembunyi dan berusaha terbangkan secepat2nya dari bilik hati. Biarlah sebagian ruang itu saya kosongkan untuk seseorang yang ditakdirkan Allah menjadi teman hidup saya. Jangan tegesa2, toh Allah sudah berjanji.

“… Dan wanita2 yang baik adalah untuk laki2 yang baik dan laki2 yang baik adalah untuk wanita2 yang baik (pula)” (An-Nuur 24: 26)

Dan demi Allah, maha benar Allah dengan segala janjinya.

Tak terhitung bila kita lihat, banyaknya pasangan2 yang bercerai dua-tiga bulan setelah menikah. Padahal masa pacarannya menghabiskan waktu begitu lama (2 tahun atau lebih). Apa yang didapat dari hubungan seperti itu selain rantai dosa2 dari tiap kata, tiap pertemuan, tiap pandangan mata, tiap sentuhan kulit???

Ada yang bimbang, bagaimana bisa menikah dengan orang yang tidak kita cintai? atau apakah tidak boleh menikah dengan orang yang kita cintai? Tidak maksud saya bukan begitu. Islam tidak memperbolehkan pergaulan tanpa sekat fisik maupun hati seperti yang banyak kita lihat di masa kini. Namun juga ia mengharamkan kerahiban.

Ada pernikahan yang merupakan solusi terbaik. Sangat saya hargai, bila ada sepasang manusia yang saling mencintai lalu bersegera untuk menikah. Itu jauh lebih baik dari pada luntang-lantung berduaan tanpa status halal. Namun, akan lebih tinggi maknanya bila kita belajar mencintai siapapun yang Allah takdirkan untuk kita. Itu adalah bentuk keyakinan dan penjagaan hati yang erat.

Saya juga belum merasakannya, tapi saya bisa membayangkan dan Andapun bisa merasakan betapa banyak sensasi2 mengejutkan, mendebarkan, menyenangkan dan tak terduga dalam proses belajar mencintai itu. Begitu indahnya pertemuan pertama, kerlingan pertama, dan sentuhan pertama. Ketika ada sesosok makhluk Allah yang asing namun tiba2 kita merasa sangat kenal dirinya. Tidakkah itu menawarkan kelezatan yang mengejutkan? Dan begitulah barokah Allah terhadap orang2 yang menjaga ketaatan dan hanya percaya pada-Nya.

Bila Anda sekarang sedang menunggu seseorang utk mjalani kehidupan menuju ridho-Nya, bersabarlah dengan keindahan. Demi Allah, dia datang tidak karena kecantikan, kepintaran ataupun kekayaan. Tapi Allahlah yang menggerakkan.

Janganlah tergesa untuk mengekspresikan cinta kepada dia sebelum Allah mengizinkan. belum tentu yang kau cintai adalah yang terbaik untukmu. Siapakah yang lebih mengetahui selain Allah? Simpanlah segala bentuk ungkapan cinta dan derap hati rapat2, Allah akan menjawabnya dengan lebih indah di saat yang tepat.

“Siapakah engkau yang dizinkanNya ku titipkan bunga di hatimu? Siapapun aku mencintaimu….



*Published in Akhwat Modis Book,2005*
Read On

IKHWAN GENIT

3 komentar





Ikhwan, istilah yang selalu memberi kesan berbeda. Walaupun artinya sama, tetap laki-laki atau pria atau sebagainya. Namun tetap saja ada kekhususan di balik kata itu. Kata ikhwan masíh digunakan oleh kalangan terbatas, dan untuk para laki-laki yang terbatas pula. Laki-laki yang mengikuti kajian Islam secara intensif (ngaji) dan terlibat dalam alur dakwah sajalah yang biasa diberi sebutan ini. Ada yang mengatakan ini adalah pengangkatan derajat yang superficial dan dangkal, karena kita tidak bisa menilai seseorang dari tampilan fisik belaka.
Apakah hanya dengan berjanggut atau celana di atas mata kaki bisa membuat seseorang dinobatkan laki-laki yang paling baik? Hal ini akan menguatkan keeksklusifan generasi dakwah di masyarakat. ada pula yang berpendapat pengistilahan tersebut akan berdampak ternodanya keikhlasan pengemban gelarnya.
Saya menghargai para ikhwan itu. Mereka yang berani memikul tanggung jawab, yang bukan berbangga tetapi merasa lebih adanya penjagaan diri dengan nama itu. Mereka yang siangnya selalu disibukkan dengan semangatnya untuk berpikir dan berpeluh-peluh belajar, ngaji syuro, dauroh, memperjuangkan dakwah dan malamnya tepekur dalam zikir-zikir syahdu dan tersedu-sedu meminta ampunan atas dosa-dosanya.
Jangan berpikir saya menulis tentang ini karena saya sedang menyukai ikhwan tertentu. Bukan, sungguh bukan. Namun, saya harus menceritakan bahwa langit tak selalu biru. Ada saja kelabu yang membuat kecewa. Suatu hari, saya pernah dihubungi seorang ikhwan yang katanya ingin menyambung silahturahmi. Walau dengan terbingung-bingung dalam rangka apa, saya berusaha berbaik sangka sekuat-kuatnya bahwa ia hanya ingin melebarkan relasi dakwah. Kami sering berdiskusi panjang lebar tentang perkembangan dakwah, keadaan politik dan sebagainya. Namun, baik sangka tersebut ternyata berbuah komunikasi-komunikasi berikutnya. Sampai pertanyaan yang tidak perlu pun terluncurkan dengan seringnya. Seperti, saya lagi apa? Apakah saya sudah makan? Perhatian-perhatian gencar seperti itu yang sangat berpotensi merusak hati yang memberi atau menerimanya. Dan puncaknya, satu saat ia bilang bahwa dia sayang saya dan berjanji ingin menikahi saya.
Tercenunglah saya. Bukan, bukan merasa bahagia karena merasa disayangi, tapi saya disadarkan dengan pahit untuk harus mengevaluasi diri, apakah saya yang begitu membuka diri sehingga ia seberani itu? 

Dalam kesedihan itu, AllahuAkbar, allah menakdirkan saya tahu belangnya dengan telinga dan mata saya sendiri. Ternyata dia juga mencoba memikat banyak akhwat sekaligus. Dengan modus operandi yang sama. Dia gunakan label ikhwan itu untuk mendekati target akhwat-akhwat yang disukainya. Dan sangat disayangkan, tak satu-dua akhwat yang akhirnya terpikat denagn “keikhwanannya” itu, dan ikut tergelincir mengikuti langkah tipuan syaitan.
Na’udzubillah….. Seorang ikhwan memang bukan malaikat sempurna, kadang ia tergelincir dan berbasah kealpaan. Ditambah lagi tak hentinya kelompok syaitan yang mengikuti dari segala penjuru. Sungguh menjadi pejuang agama Allah tidaklah mudah! Untuk mereka, tak henti saya berdoa semoga Allah selalu menjaga dalam rentang panjang jalan keimanan ini.

Tapi bila ada penjahat-penjahat bercap palsu nama ikhwan, yang memanfaatkan jamaah ini untuk kepentingan pribadinya, untuk kesenangannya, maka mohon maaf lahir batin, menjauhlah dari sini, ikhwan genit!! Duduklah dengan tenang disinggasana nafsumu, bersiap-siap sajalah menyambut wanita genit yang bercap palsu, wanita yang juga sepertimu suka mencari perhatian dan senang menggoda. Allah telah mempersiapkan ia khusus untukmu.

“Wanita2 yang keji adalah untuk laki2 yang keji, dan laki2 yang keji adalah untuk wanita2 yang keji (pula)..” (an nuur: 26)


*Published in Akwat Modis Book, 2005*
Read On

Sms Merah Muda

0 komentar





“Tetap istiqomah, Ukhti… Selamat berjuang. Semoga Allah menyertai anti.” Sender : Ikhwan +62817xxx

Senyum timbul dari cakrawalanya dengan malu-malu. Serasa ada hangat menyelusup dada dan membuat jantung berdegup lebih cepat. Otaknya pun sekejap bertanya, “Ada apa?”, “Sungguh, bukan apa-apa. Aku hanya senang karena ada saudara yang menyemangatiku.” Si akhwat menyangkal hatinya cepat-cepat. Dan ia bergegas meninggalkan kamarnya, ada dauroh. Ia berlari sambil membawa sekeping rasa bahagia membaca sms tadi yang sebagian besar bukan karena isinya, melainkan karena nama pengirimnya.

“Ana lagi di bundaran HI, Ukhti. Doakan kami bisa memperjuangkan ini.” Sender : Ikhwan +628179823xxx

Untuk apa dia memberitahukan ini padaku. Bukankah banyak ikhwan atau akhwat lain? Nada protes bergema di benaknya. Tapi di suatu tempat, entah di mana ada derak-derak yang berhembus lalu. Derak samar bangga menjadi perempuan yang terpilih yang di-sms-nya.

Pagi itu, handphone kesayangannya berbunyi. “Ukhti, Selamat hari lahir. Semoga hari-hari yang dijalani lebih memberi arti.”
Dada membuncah hampir meledak bahagia. “Dia bahkan ingat hari lahirku!” Dibacanya dengan berbunga-bunga. Tapi pengirimnya… Sender : Akhwat +6281349696xxx
Senyum tergurat memudar. Tarikan napas panjang. Kecewa, bukan dari dia. Ringtone-nya berbunyi lagi.
“Ukhti, Selamat hari lahir. Semoga hari-hari yang dijalani lebih memberi arti.” Sender : Ikhwan +628179823xxx
Dia!Semburat jingga pagi jadi lebih indah berlipat kali. Senyumnya mengembang lagi. Dan bunga-bunga itu mekar-lah pula.


Cerita di atas tadi selurik gerak hati seorang akhwat di negeri antah berantah yang sangat dekat dengan kita. Gerak hati yang mungkin pernah bersemayam di dada kita juga. Bisa jadi kita mengangguk-angguk tertawa kecil atau berceletuk pelan, “Seperti aku nih,” saat membacanya. Hayo… ngaku! He he…
Mari kita cermati fragmen terakhir dari cerita tadi. Kalimat sms keduanya persis sama, yang intinya mengucapkan dan mendoakan atas hari lahir (mungkin mencontek dari sumber yang sama hehe…). Sms sama tapi berhasil menimbulkan rasa yang jelas berbeda. Karena memang ternyata lebih berarti bagi si akhwat adalah pengirimnya, bukan apa yang dikatakannya.
Namun sebenarnya, apakah Allah membedakan doa laki-laki dan perempuan? Mengapa menjadi lebih bahagia saat si Gagah yang mendoakan? Semoga selain mengangguk-angguk dan tertawa kecil, kita juga berani memandang dari sudut pandang orang ketiga. Dengan memandang tanpa melibatkan rasa (atau nafsu?), kita akan bisa berpikir dengan cita rasa lebih bermakna.


Konon, cerita tadi terus berlanjut.
Suatu hari yang cerah, sang akhwat mendapat kiriman dari si ikhwan itu. Sebuah kartu biru yang sangat cantik. Tapi sayang, isinya tidak secantik itu. Menghancurkan hati akhwat menjadi berkeping-keping tak berbentuk lagi. Kartu biru itu adalah kartu undangan pernikahan si ikhwan. Dengan akhwat lain, tentu saja. Berbagai Tanya ditelannya. Mengapa dia menikah dengan akhwat lain? Bukankah dia sering mengirim sms padaku? Bukankah dia sering me-miscall ku untuk qiyamull lail? Bukankah dia ingat hari lahirku? Bukankah dia suka padaku? Mengapa…mengapa…
Dan air mata berjatuhan di atas bantal yang diam. Teman, jangan bilang, ya… dia hanya tidak tahu, ikhwan itu juga mengirimkan sms, miscall, mengucapkan selamat hari lahir dan bersikap yang sama ke berpuluh akhwat lainnya!

 Ironis. Sedih, tapi menggelikan, menggelikan tapi menyedihkan. Sekarang siapa yang bisa disalahkan? Akhwat memang seyogiyanya menyadari dari awal, sms-sms yang terasa indah itu bukan tanda ikatan yang punya kekuatan apa-apa. Siapa yang menjamin bahwa ikhwan itu ingin menikahinya? Bila ia berharap, maka harapanlah yang akan menyuarakan penderitaan itu lebih nyaring.

Tetapi para ikhwan juga tak bisa lari dari tanggung jawab ini. Allau’alam apapun niatnya, semurni apapun itu, ingatlah, sms melibatkan dua orang, pengirim dan penerima. Putih si pengirim, tak menjamin putihnya juga si penerima. Bisa jadi ia akan berwarna merah muda. Merah muda di suatu tempat di hati atau menjadi rona di pipi yang tak akan bisa disembunyikan di depan Allah.

Bagi perempuan, sms-sms dan bentuk perhatian sejenis dari laki-laki bisa menimbulkan rasa yang sama bentuknya dengan senyuman, kedipan menggoda, dan daya tarik fisik perempuan lainnya bagi laki-laki.
 Menimbulkan sensasi yang sama. Ketika perempuan bertanya berbagai masalah pribadinya padamu, seringkali bukan solusi yang ingin dicari utamanya. Melainkan dirimu. Ya, sebenarnya perempuan ingin tahu pendapatmu tentang dia, apakah dirimu memperhatikannya, bagaimana caramu memandang dirinya. Dirimu, dirimu, dan dirimu… dan kami –kaum hawa- sayangnya, juga memiliki percaya diri yang berlebihan, atau bisa dibahasakan lain dengan ‘mudah Ge-Er’. Jadi, tolong hati-hati dengan perhatianmu itu.

Paling menyedihkan saat ada seorang aktivis yang tiba-tiba berkembang gerak dakwahnya atau semangat qiyamul lailnya karena terkait satu nama. Naudzubillah tsumma naudzubillah. Ketika kita menyandingkan niat tidak karena Allah semata, maka apalah harganya! Apa harganya berpeluh-payah bukan karena Dia, tapi karena dia. Seseorang yang sama sekali bukan apa-apa, lemah seperti manusia lainnya.

Laki-laki dan wanita diciptakan berbeda bukan saling memusuhi, bukan juga saling bercampur tak bertepi, tapi semestinya saling menjaga diri. Secara fisik, emosional, atau kedua-duanya. SMS tampak aman dari pandangan orang lain, hubungan itu tak terlihat mata. Tapi wahai, syetan semakin menyukainya. Mereka berbaris di antara dua handphone itu. Maka dimanapun mereka berada, syaitan tetaplah musuh yang nyata!

Wahai akhwat, bila kau menginginkan sms-sms itu, tengoklah inbox-mu. Bukankah disana tersusun dengan manis sms-sms dari saudarimu. Saudari-saudarimu yang dengan begitu banyak aktivitas, amanah, kelelahan, dan kesedihan yang sangat memerlukan perhatianmu. Juga begitu banyak teman-temanmu yang belum mengenal Islam menunggu kau bawakan sms-sms cahaya untuk mereka.

Ada saatnya. Ya, ada saatnya nanti handphone kita dihiasi sms-sms romantis. Sms-sms yang walaupun hurufnya berwarna hitam semua, tapi tetap bernadakan merah muda. Untuk seseorang dan dari seseorang yang sudah dihalalkan kita berbagi hidup, dan segala kata cinta di alam semesta.
 Cinta yang bermuara pada penciptaNya. Cinta dalam Cinta. Bersabarlah untuk indah itu.

“Ummi, abi lagi ngisi ta’lim di kampus pelangi. Di depan abi ada beribu bidadari-bidadari berjilbab rapi, tapi tak ada yang secantik bidadariku di istana Baiti Jannati. Miss u my sweety.

“Abi, yang teguh ya, pangeranku…rumah ini terasa gersang tanpa teduh wajahmu. Luv ya”


Ya, hanya untuk dia kita tulis the Pinkest Short Massage Services. Sms-sms paling merah muda. 











)I( Published in Akhwat Modis Book,2005 )I(
















Read On

Love.ologhica

0 komentar




Love.ologhica
 
Kepada satu nama yang kusimpan dalam ingatan yang ingin paling jarang kugunakan..
Gerimismu semi di sisi ladangku
Dan Jendelaku menjadi berbunga-bunga magenta  

Namun penghianatan nyanyian hujan kita pada telagaNYA
ternyata mengiris permukaan tenang itu
Perih



Haruskah kau lupakan  aku buru-buru?” bujuk cinta
Maafkan tuan,
Walau dengan enggan, kuanggukkan kepala


Tak layak kupotongkan untuk-Nya  sisa-sisa cinta
Maka hanya kutunggu janji Sang Maha Benar dengan kesabaran berdarah-darah

Kujaga hatiku untuk pangeran di bumi mana
Yang akan menjemputku dengan kuda putihnya
Di senja yang tepat.
 
Malam itu, Pada sujudku yang terlalu lama kaku,
Aku bercerita.
 
True Love.ologhica
Read On

Nembak Duluan?

1 komentar



Yang pasti-pasti aja!
Ingat slogan iklan TV ini? Bukan untuk mempromosikan minuman produk Amerika yang membantu kaum zionis Israel itu, tapi dalam kalimat ini, saya sependapat. Betapa banyak hal di dunia ini yang tidak pasti dan sangat rawan untuk terus difikirkan. Angan-angan berpanjangan bisa meluap dari situ. Baik, langsung saya spesifikkan, misalnya dalam mencari pasangan hidup.
Seorang perempuan yang sudah baligh sebenarnya adalah adalah kewajiban wali, orangtuanya lah untuk menikahkan dengan laki-laki yang sholeh. Alternatif lain, kumpulan orang-orang shaleh di sekitarnya bisa menggantikan peran itu. Tapi tidak selalu dua kondisi itu bisa digenapkan. Misalnya orangtua tidak bisa memutuskan mana laki-laki yang sholeh atau setelah sekian lama, belum ada ikhwan yang tergerak untuk melamarnya. Sedangkan urgensi menikah itu semakin kuat menelusup di celah di jiwa, kerinduan akan membangung keluarga Islami memuncak, ketakutan tergelincir pada kemaksiatan yang semakin membumbung atau kasus-kasus tertentu yang membuat pernikahan harus segera dilaksanakan. Kadang kata akhi Salim A fillah,dalam bukunya Agar Bidadari Cemburu Padamu, menawarkan diri bagi akhowat adalah pilihan yang agung.
Menawarkan diri pada lelaki yang pasti. Pasti agamanya, pasti kualitas akhlaknya. Di sini yang tak pasti cuma satu,diterima atau tidak. Dan ditolak bukanlah kehinaan, hanya ladang kesabaran yang insyaAllah menjadi taman-taman berbunga cantik pahala. Daripada menunggu yang tak pasti, tak pasti agamanya ,tak pasti akhlaknya. Bahkan tak pasti pula datangnya.
Memalukan! Tradisi mengajarkan kita demikian. Perempuan yang menawarkan diri untuk menikah pada laki-laki dianggap tidak tahu kesopanan. “Kaya ngga laku aja” atau “Kegatelan banget sih cewenya”. Komentar seperti itu sungguh kejam dan tidak adil. Apakah memalukan untuk menggenapkan setengah dien, separuh agama? Adakah dalam ingatan Anda, ibadah yang melebih setengah agama? Sementara perempuan yang berseliweran berboncengan, nonton berduaan, di café-cafe berpegangan tangan adalah hal yang dianggap hal biasa. Sudah jelas, kebenaran dan kemuliaan tidak terletak pada pendapat orang kebanyakan.
Ada juga yang mengemas pemikiran kuno itu dengan bentuk yang tampaknya lebih elegan “ Kalau imannya kuat, pasti dia akan sabar menunggu ikhwan datang melamarnya
Hhh..saya hanya bisa menarik nafas panjang sambil menuturkan cerita ini.

Anas ibnu Malik, Radhiyallahu ‘Anhu berkata:
Ada seorang wanita yang datang kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam. Ia menawarkan dirinya kepada Rasulullah “Apakah engkau membutuhkan diriku?”. Anak perempuan Anas hadir dan mendengar kata-kata wanita itu, lalu berkata ”Alangkah memalukan dan betapa buruknya”. Mendengar itu, sang ayah (Anas ibnu Malik) menyahut ”Dia jauh lebih baik darimu nak. Wanita itu mencintai Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam dan menawarkan dirinya kepada beliau” (HR Al Bukhari).


Dengarlah, dia jauh lebih baik dari kamu!

Atau bahkan ada beberapa “oknum” ikhwan yang entah dari mana mendapat generalisir ini “Kami,para ikhwan, pada hakikatnya punya insting memburu, dan aneh sekali bila akhowat yang mendekati”
Coba tengok lagi cerita tadi, adakah Rasul berkata “wahai wanita, aku seorang laki-laki, tidak pantas bagimu menawarkan diri”?
Dan bisakah sekarang Anda menjawab, wahai lelaki, siapakah engkau dibanding Rasulullah??
Ohya, perlu sekali saya tekankan, saya tidak sedang bicara tentang “nembak” dengan senjara berlaras itu lho…Ngerti aja kan? Tapi juga bukan tentang “nembak” seperti yang muncul di reality show yang mengklaim dirinya reality show cinta pertama di Indonesia itu. Sungguh, bukan itu. Kalau nembak jenis itu sih, saya sangat berharap Anda sudah mengerti tentang ketidakbenarannya. Nembak yang mulia bukan aplikasi kreatif ketidaksabaran, kekonyolan dan maaf, agak tidak tahu malu terhadap pelanggaran perintah Allah seperti itu dan jauh sekali dengan ikatan suci pernikahan. Tapi sssttt, katanya rating acara itu selalu tinggi. Anda tidak termasuk salah satu yang menaikkannya kan?
 Ohya (lagi), saat perempuan mengajukan diri untuk menikah, itu juga harus melalui pertimbangan dan cara-cara yang mulia. Ga mungkin dong, ketemu di perempatan lalu langsung minta dinikahi? Hehehe.. Bisa dengan minta diwakilkan orangtua, atau lewat orang-orang sholeh yang bisa dipercaya. Dan sudah seharusnya ada musyawarah sebelumnya dengan mereka dalam hal pemilihan calon agar sisi subjektif dapat dikendalikan. Misalnya karena dilihat cakep, sarjana, mapan kerjanya, kita menjadi lupa pada sisi akhlaknya yang pas-pasan. Tidak salah sih bila menginginkan ikhwan ganteng, pinter dan sebagainya tapi pertimbangan agama dan akhlaknya haruslah yang utama.
Hasan bin Ali berkata “ Nikahkan puterimu dengan orang yang bertakwa. Sebab bila ia mencintainya pasti akan menghormati dan memuliakannya dan bila ia tidak mencintainya pasti ia tidak akan menzhaliminya”
Sambil berikhtiar, jangan lupa sholat Istikhoroh berulang kali. Petunjuk Allah adalah kemestian yang mesti dimohon selalu. Agar kita tidak menjadi hamba yang disindir Allah lewat ayat ini.
boleh jadi kamu tidak menyenangi sesuatu padahal itu baik bagimu dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu padahal itu tidak baik bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui (Al Baqarah :216)
Kadang sebenarnya, bukan karena ketidaktahuan yang membuat para ikhwan melambatkan pernikahan. Tapi semata karena ketidakpedean terutama masalah mahar dan ma’isyah. Nah, akhowat yang seyogyanya juga ikut meyakinkan mereka bahwa Anda berani untuk menanggung bersama. Berani menjalani proses kehidupan apapun bentuknya. Kegembiraan, apalagi kesusahan. Anda berani, bukan?
Ya, karena kadang ikhwan-ikhwan itu perlu dipecut agar tidak lagi menjadi pengecut. Agar mereka bertambah kuat iman kepada rezeki Robbnya dan tambah kreativitasnya. Pernikahan terbukti adalah salah satu bentuk media percepatan diri yang sangat efektif.
Lalu, biarkan Allah membantu.

 Sudah ya, kita tutup dulu pembahasan ini. Sekarang waktunya menajamkan usaha memperbaiki diri dan memperkokoh niat. Memang perlu perjuangan untuk mengubah masyarakat dengan tradisi-tradisinya. Tapi setidaknya Anda tahu bahwa tradisi itu harus diubah. Dan Anda bisa memulainya lebih dahulu.  
Dalam suatu pertemuan, ada seorang teman berseloroh “ Jodoh itu di tangan Tuhan, tapi kalau tidak diambil-ambil, ya akan di tangan Tuhan terus”
Hal itu tidak urun memancing tertawa teman-teman yang lain, termasuk saya juga. Tapi untuk anda, wahai perempuan, semoga kelakar tadi semakin menguatkan.


 *Published in Akhwat Modis Book, 2005*
Read On

di mana engkau, pangeranku?

0 komentar



Setelah sujud terakhir shalat malam yang panjang, Tunduk. Ada tetesan tak berbunyi bergulir di atas pipi. Kesunyian itu tiba-tiba datang lagi tanpa meminta izin lebih dahulu. Sebenarnya ada rasa malu mengakui, mengingat materi2 yang telah diterima setelah berdekatan dengan kajian Islam selama dua tahun. Bahkan sebagian sudah dinasehatkan kepada orang lain. "Muslimah itu harus berjiwa tegar, militan, jangan cengeng terhadap hal remeh". "Mengapa kader terbina masih mikirin soal cinta-mencinta, jodoh-menjodoh, bukan zamannya lagi!" Iya…iya..ngerti. Tapi, Ya Allah maafkan, aku tetap kesepian.

Rindu dia pada yang belum diketahui namanya. Dia yang akan menggenapkan setengah dien bersama-sama. Dia yang akan dihormati, senyumi, cemberuti, dan dilembuti. Dia yang sepanjang perjalanannya akan saya temani. Hatiku menjerit pelan.."Di mana engkau pangeranku?"

Allah, betapa ridho diri ini tunduk pada perintahMU, perintah menundukkan pandangan, perintah mengulurkan jilbab, perintah terus memperbaiki diri dari hari ke hari. Menanti janjiMu ádalah aliran air tersegar yang tak akan putus.

"..Dan wanita2 yang baik ádalah untuk laki2 yang baik dan laki2 yang baik ádalah untuk wanita2 yang baik pula " (An Nuur:26)

Tetapi, bolehkah hamba bercerita pada MU wahai Rabb? Bahwa hati ini begitu cepat terbolak-balik. Kadang ia kuat bak benteng kokoh, tapi sering pula ia rapuh bak rumah kardus di bawah kolong jembatan. Dan syaitan tahu itu, Ya Allah. Mereka begitu senagnya berlomba menggoda. Sehingga dalam penantian yang panjang ini, terselip pandangan yang belum halal, ada perkataan yang belum halal, ada usaha mencari perhatian yang belum halal. Ahh..., Kau tahu lebih dari yang hamba ceritakan.

Allah, betapa takutnya hamba membuat Kau cemburu.

Allah hamba tak mengerti, mengapa tak ada gerak dalam hati mereka untuk tidak terus memanjai angan2?
Apakah terlalu berat ya Allah bagi mereka untuk mengambil kenikmatan yang Engkau janjikan?

"Tak cukup mapan, masih kuliah, belum dapat izin orang tua"

Alasan2 seperti itu apakah Kau bisa terima?

Sementara seorang Sugiarto, nama lengkap Ato, seorang pembelajar sejati, sahabat kesayangan Aa Gym yang ditakdirkan bertubuh tidak lengkap. Lelaki yang berjalan terseok-seok hanya bertumpu dengan kakinya yang kecil. Lelaki yang harus bersusah payah untuk mengucapkan kata per kata itu berani mengambil keputusan. "Belhalap pa..da Allah sa…ja," ujarnya terbata2. Dan Allah memudahkan bagi mereka yang hanya memercayakan semua pada-Nya. Ato dan istrinya sekarang hidup tenang dalam kesahajaan dan mempunyai seorang anak, anak yang sehat!

Sahabat, sesungguhnya cerita ini bukan untuk diri saya sendiri. Saat ini, di tengah malam ini, mari kita tengok ke jendela2 yang terbuka. Di atas ribuan sajadah, bersimpuh perempuan2 yang sedang merindu. Tetesan2 air mata mereka terus membasahi bumi, air mata mujahidah yang sangat takut tergelincir kepada kemaksiatan. Tak perih jua kah mereka melihatnya? Tak ada kah sepotong hati untuk meringankan beban itu?

Dan sahabat, bila kau salah satu dari perempuan bersimpuh itu, sabarlah. Benar, tidak mudah. Tapi tidak ada yang salah dengan janji Nya. Janji Nya adalah keniscayaan terindah, walau itu harus kau tebus denagn kesabaran yang berdarah-darah.

Jangan lelah muliakan dirimu. Bukan untuk dia. Juga bukan untuk dirimu sendiri. Tapi semata hanya untuk Rabb-Mu. Sungguh, itu bagian dari tarbiyah dengan cara yang berbeda. Dan Maha benar Allah, lelaki mulia itu akan datang atas nama kemuliaan pernikahan. Tanpa kau perlu teriaki, dia telah mendengar dengan kesediaan tertinggi akan seruan lembut Tuhan-Nya, yang disampaikan kepada hamba terkasih dan utusan-Nya.




*Published in Akhwat Modis Book,2005*
Read On

Untuk Apa Sekolah? (Renungan Di Hardiknas)

0 komentar
Dialog Anak dan Ibu I
"Ma, Andi pengen uang banyak," celoteh seorang anak suatu hari pada ibunya.
" Berarti, Andi harus sekolah, terus dapat kerja, dapat uang yang banyak deh,"
jawab ibunya ringan.

Dialog Anak dan Ibu II
"Bunda, Mira ingin kuliah," dengan wajah penuh harap, seorang gadis berkata
dengan nada merayu.
"Ibunya menjawab sambil mengibaskan tangannya. "Buat apa sekolah tinggi-tinggi,
lihat tuh tetangga kita, capek-capek kuliah akhirnya cuma di dapur. Ngga penting
sekolah, yang penting bisa cari duit!"

Beginilah dialog yang terjadi di banyak rumah di negara kita. Lebih menyedihkan,
kedua fragmen di atas adalah bagian keseharian kita yang sudah dianggap sangat
biasa. Cermatilah dan bisa kita tarik garis dogmanya, sekolah untuk kaya dan
bila tidak kaya sekolah adalah kesia-siaan belaka. Begitu, kan? Bisa jadi kita
tersentak sesaat, paradigma seperti itu ternyata juga sudah lama mengendap di
otak kita.

Tak heran, wajah buram pendidikan Indonesia yang masih akan buram karena
anggaran pendidikan seebsar 20 persen dari APBN begitu berat untuk dikabulkan,
terus berlanjut. Pelajar yang merasa bakal sulit dapat kerja setelah lulus
akhirnya sekolah malas-malasan. Atau pilihan lain, mereka berduyun-duyun
mengikuti kontes dangdut yang menawarkan imbalan besar secara instan daripada
berlama-lama kuliah di universitas.

Begitu pula masyarakat, saat ada sarjana yang rela mengajari anak-anak pedalaman
atau hanya mengurus keluarga agar menjadi keluarga berakhlak baik, tapi tidak
mempunyai pekerjaan tetap di kantoran dianggap gagal. Karena, motivasi
pendidikan hanya itu. Sebatas nilai rupiah. Hal inilah yang kita sadari atau
tidak sudah diakarkan kuat-kuat oleh lingkungan, negara dan masyarakat dunia
yang sudah tercelup oleh warna kapitalisme. Suatu parameter yang lemah, tidak
kekal dan tidak bermanfaat besar untuk siapa-siapa.

Penguasa sebenarnya sangat mendapat poin strategis dalam hal ini. Kalau boleh
dibilang dengan kalimat yang lebih lugas, mereka yang harus bertanggungjawab
untuk mengalihkan pendidikan money oriented yang kita alami selama ini. Dengan
dipenuhinya sarana pendidikan, perbaikan sistem dan penghargaan yang tinggi
kepada pendidik akan sangat berdampak pada kualitas keluarannya.

Contohnya, kurikulum pendidikan yang terlalu teoritis, penuh hafalan dan
kesimpulan berperan melahirkan pengangguran tanpa keterampilan post sekolah.
Atau pendidikan yang dibawakan dalam suasana materialistis akan membentuk
generasi lembek tidak berenergi, hobi mengutamakan kepentingan dirinya sendiri,
dan hanya mampu mengukur segalanya dari keuntungan materi.

Untuk memperbaikinya, tentu tidak lain posisi penguasa (pemerintah) ini harus
diiisi oleh orang soleh yang faham benar bagaimana menghargai pendidikan. Orang
adil dan amanah yang berwenang mengeluarkan kebijakan yang betul-betul bijak,
bisa kita munculkan melalui partai politik. Kita dapat berpartisipasi untuk
memilih mereka. Jadi, jangan alergi pada parpol.

Semoga tulisan ini tidak terlalu menghakimi, tetapi diharapkan menjadi sedikit
inspirasi untuk melihat ilmu dengan cara pandang baru. Ilmu terlalu tinggi
harganya kalau hanya dinilai dari kacamata uang dan dunia. Kalau ada keuntungan
ekonomi berdasarkan kapasitas ilmu, tentu saja itu efek samping yang berhak kita
terima. Tapi sekali lagi, terlalu dangkal bila itu sudah menjadi tujuan dan
arah.

Dialog Anak dan Anda

"Nak, mau kuliah di mana?" Anda bertanya.

"Ah buat apa kuliah, belum tentu jadi kaya," jawab anak Anda dengan maalas.

"Sekolah tinggi bukan untuk kaya. Ilmu itu untuk mengangkat derajatmu di sisi
Allah, dan agar kau menjadi manusia yang paling bermanfaat untuk manusia lain.
Untuk kekayaan yang sesungguhnya, anakku," jawab Anda.

Tapi, izinkan saya bertanya: "Begitukah jawaban Anda?"


*Published in Banjarmasin Post, 2 Mei 2006*
Read On

Sepenggal Cerita Biasa

0 komentar

Oleh : Martina Rahmi





LANGIT malam diukiri goresan kilat dan angin dingin, memberitakan hujan akan segera menyapa. Gara duduk meringkuk di sudut dinding kayu yang telah lapuk mencari sedikit kehangatan dari tubuhnya sendiri. Bila malam dan hujan, ia punya alasan pada dunia untuk tidak membentang tubuh kecilnya di jalanan terik berdebu. Dengan begitu, berarti perutnya malam ini akan kosong tak terisi. Sudah biasa, kekosongan adalah karibnya.

Di sisinya tergolek tubuh kurus lemah tak berdaya. Tangan dan kaki kecilnya tersusun dari tulang-tulang menonjol yang hanya terbungkus kulit. Tak bisa bergerak bila tidak digerakkan. Bagian tubuh yang paling besar hanyalah kepalanya, tapi kepala itu pun tidak dapat digunakan selain untuk menggeleng dan mengangguk.

Dadanya naik turun dengan berat, terlihat berusaha menarik nafas semampunya. Gara menatap lekat pada Abas, adiknya. Menatap satu-satunya sahabatnya itu dengan sedih. Mendengar cerita lelahnya menjual koran seharian, dukanya saat pemalak merampas semua uangnya. Abas mendengarkan segalanya walau cuma bisa mengerjapkan sinar mata. Tapi setidaknya Gara tahu, dia tidak sendirian.
Entah apa penyakit Abas, Gara tak mengerti. Kata Pak Mantri yang dulu berbaik hati pernah singgah, Abas mengidap penyakit kekurangan makanan yang parah. Dia harus segera dibawa ke rumah sakit, tapi tak mungkin karena tak ada biaya.

Tak boleh mengeluh. Kalimat itu berulang kali dihantamkannya ke dada agar kekuatan menelikung, menopang jiwanya, mempertahankan semangat hidupnya. Untuk dia, dan untuk adiknya.
Gara tahu, mengeluh pun tak akan mengubah apa-apa. Dia harus bersyukur saat budhe berkenan memberi tumpangan sepetak atap bernaung. Tak perlu menangis atau merengek walau budhe tak pernah memberi makan cukup kepadanya dan adiknya. "Setidaknya, budhe lebih baik dari ibu" batin Gara berbicara. Ibu yang membawa mereka dari kampung dan meninggalkan dengan paksa di rumah budhe begitu saja.
Kata orang-orang, ibunya tidak punya uang untuk mengasuh anak-anaknya, terlebih saat suaminya meninggalkan tanpa kabar. Apakah Gara rindu ibu dan bapaknya? Entahlah. Gara merasa tidak perlu merindukan siapa-siapa karena saat kerinduan mencabik, mereka juga tak akan datang.
Gara memahami tak mudah mencari uang, bagaimana lelahnya mencari rupiah demi rupiah di antara bus-bus, di sudut-sudut jalan, di perempatan padat lampu merah. Jadi tak ada kesal saat budhe yang hanya bekerja sebagai tukang cuci itu tidak pernah memberinya nasi.

Budhe juga punya anak kecil yang harus dirawat. Tak boleh ada iri saat melihat sepupu-sepupunya melahap susu dengan nikmat walau ingin sekali rasanya Gara mencicipkan susu itu ke Abas. Tapi cukuplah air tajin untuk Abas. Anggaplah seperti susu putih, Abas juga tidak tahu bagaimana rasanya susu. Getir.
Gara menunduk dan berbisik lirih di telinga adiknya, "Bila kamu sembuh, aku berjanji kita akan jalan-jalan sepuasmu sambil bawa kerenceng tutup botol yang dibuatkan Mang Dodon. Kita bisa bernyanyi, tertawa bersama di dalam bus atau di depan kaca mobil-mobil mewah itu. Kau suka menyanyi, bukan?"
Abas tetap tak bergerak. Tapi sudut bibirnya yang tertarik lebar dan matanya bersinar-sinarnya saja berbicara. Hanya Tuhan yang mengerti percakapan dua jiwa itu.
***


"Gar, di halaman rumah Haji Abu ada pembagian beras murah, ‘Ncing elo tau ga?" Suara keras Iyong menghentak Gara. Beras murah? Otak gara serasa berlari lebih cepat dari biasanya. Bila kubeli beras itu, mungkin budhe mau menukarnya dengan segelas susu. Abas pasti akan senang sekali. Asyik!
Gara melompat bahagia. Dia bahagia sekali dengan pemikirannya itu, seolah telah mendapat harta karun yang tak bernilai. Siang itu ditelannya. Matahari yang menyengat tak mampu mengejeknya.
Aku harus dapat uang hari ini! Semangatnya berkobar-berkobar mengingat adiknya. Dibawanya kotak semir sepatu itu ke pertokoan mewah. Dia terus berjalan menawarkan semirannya, tak ia perdulikan sandal tipis yang semakin tipis, wajah-wajah keras yang menghina atau kibasan tangan yang mengusirnya. Dan sunggingan senyum pun terlintas setelah beberapa recehan rupiah bergerincing di kotaknya. Digenggamnya uang itu erat-erat.
***


Halaman haji Abu sudah dikerumuni banyak orang ketika ia datang. Dengan menyelipkan tubuh ringkihnya sekuat tenaga, akhirnya dia dapat membeli satu tas kresek beras. Segera setelah melepaskan desakan dari gerobolan itu, dia langsung melangkah pulang ke rumah.
Entah mengapa siang yang panas tiba-tiba berubah menjadi titik-titik air yang semakin banyak dan besar. Gara berlari secepatnya, dimasukkanya beras itu ke dalam baju kaos putihnya yang tipis dan kian transparan terkena basah hujan. Sandalnya yang putus pun tak dipedulikanya. Langkah-langkah kecil tak beralas itu terus melawan tapak tanah yang keras di bawah guyuran hujan.
Memprihatinkan. Tapi tidak bagi Gara. Dia tersenyum paling bahagia dalam hidupnya. Senyum seorang pahlawan yang telah memenangkan perang.


Sampai di depan rumah budhe, dilihatnya beberapa orang berkumpul. Budhe menyongsongnya dengan muka gusar " Gar, cepat ke pasar, beli kain". Gara berkerinyit. "Kain apa?" Mpok Rohida, tetangga sebelah rumah menepuk pundak Gara pelan ‘Kain kafan Gar, Adik elu meninggal tadi. Ga tau kenapa dia kena bengek parah banget ".


Gara nanar. Tahukah siapa yang mereka sedang bicarakan? Mereka sedang bicara tentang adiknya. Satu-satunya penghibur laranya. Satu-satunya sumber sinarnya!
"Abas..bangun Bas..! Mengapa kau tidak membuka mata? Bukankah kau berjanji bernyanyi denganku? Bangun, bas! Kau mau minum susu? Kau belum tau enaknya susu,bukan? Bangun Bas!"

Airmata berjatuhan bercampur basah air hujan di pipinya. Gara mengguncangkan bahu adiknya dengan isak dan kemarahan. Marahnya pada budhe, tetangga, dirinya sendiri, pada Abas. Kepada semuanya. Sementara di luar deras hujan terus menghunjam dan diam. Seolah tak peduli apapun yang terjadi di bumi.



*Published In Banjarmasin Post, 4 Desember 2007*
Read On

selamat tinggal, Tu.....

0 komentar


Dan air jatuh satu-satu ke bahuku yang sunyi

kehilangan ternyata terlalu sepi..
karena hanya hati sendiri yang mengerti.

Tak ada yang cukup mengetahui,
keberadaannya yang terlalu berarti.
bahkan tidak pula huruf-huruf di monitor ini.
Sampai telapak tangan yang keriput namun hangat itu tak dapat kusentuh lagi.

Aku mencintainya.
tapi kutahu cintanya lebih dari itu.

Itulah yang kutangisi: Cinta besarnya yang tak pernah sempurna terbalas oleh waktuku.

Do'aku semi di taman bunga nan tenang.
kuharap Allah terus mengirimkan wanginya
ke jiwanya yang terang..



*saat kutak sanggup lagi mencerna luka ini*
Read On