10 HAL YANG KUBENCI DARI HELVY3 komentar Tuesday, March 30, 20101. Aku benci namanya. Sekali waktu, aku pernah mengetik nama sendiri di mesin pencari Google. Sedikit ingin menguji kepopuleran diri. Dan hasilnya seperti kuduga: Sangat mengecewakan. Yang muncul hanyalah akunku di jejaring sosial atau blog yang sama sekali tidak mencerminkan prestasi. Paling hebat hanyalah tentang tulisanku di koran lokal. Itupun sudah kira-kira beberapa abad yang lalu. Bandingkanlah dengannya. “Helvy adalah salah satu dari 10 perempuan penulis paling terkenal menurut survey Metro TV 2009 dan merupakan satu 15 tokoh muslim Indonesia yang terpilih sebagai 500 muslim paling berpengaruh di dunia”. Dia bahkan sudah ada di Wikipedia! Coba ketik nama depannya saja “Helvy”. Maka dia ada di deretan paling atas. Ya, Helvy ini lah yang dikenal dunia. Bukan Helvy-Helvy yang lain. Sedang ketika kuketik nama depanku, aku harus berselancar berhalaman-halaman dulu untuk menemukan diriku. Oh Tuhan, Mengapa bukan aku yang bernama “Helvy Tiana Rosa”? 2. Aku benci buku-bukunya. Karena setiap aku ke toko buku paling terkenal di kotaku, aku harus berkeliling ke seluruh penjuru dulu untuk mengendus jejak bukunya. Entah apa yang salah, rupanya buku-bukunya dikalahkan sejumlah novel pembunuhan atau psikopat yang bertengger di deretan buku laris itu. Dunia memang kadang tidak adil. Maksudku, apa bagusnya buku yang membuatku takut ke toilet? Bahkan ia dikalahkan oleh buku bermacam jenis dodol-dodolan yang selalu sangat mudah didapatkan. Bukannya tak suka, tapi menurutku dunia ini sudah penuh dengan dodol. Jangan dilarang orang yang melayang pandang ke sabilillah: Ia sudah tahu resah nyata semesta seringai malam bumi kita Jangan ditahan orang yang ingin melempar diri ke sabilillah: Ia sudah tahu ramuan cinta yang firdaus juga jeram rintangan itu Jangan dinanti orang-orang yang pergi ke sabilillah: Ia sudah tahu ke mana harus menjual nyawa (Helvy Tiana Rosa, Pelangi nurani) Kau lihat? Aku benci kalimat sehebat ini harus tersembunyi di dalam buku yang kadang terjepit di sela-sela buku masak-memasak. 3. Aku benci keberuntungannya Pagi 3 Mei 1998 Helvy diundang mengisi seminar IAIN Sunan Gunung Djati Bandung. Dia bertemu dengan seorang pembicara lain, yaitu Mimin Aminah. Seorang wanita ramah, aktif dan memiliki ‘keunikan’ yaitu sepasang kaki lemah dan kecil sehingga memaksanya memakai tongkat penyangga. Mimin berkata “Saya diuji Allah dengan cacat kaki ini seumur hidup saya. Mungkin banyak orang akan pesimis menghadapinya, tetapi sejak kecil saya berdoa agar saat orang lain melihat saya, tak ada yang diingat dan disebutnya kecuali Allah”. Mimin terdiam sesaat. Lalu dia meneruskan “Lalu saat saya hamil dan melahirkan, semua orang melihat saya dan mereka mengingat Allah. Allahu Akbar! Allah memang MahaAdil kata mereka berulang-ulang. Dan saya tahu, do’a saya telah terkabul”. Helvy bilang bahwa saat itu ia ingin sekali turun dari tempat duduknya sebagai pembicara dan pertama kalinya dalam hidupnya, dia menahan air mata di podium. Helvy membatin dengan mata basah, “Bisakah orang ingat pada Allah saat memandang saya seperti saat mereka memandang Mimin?”. Bukankah kita akan sangat beruntung bertemu dengan orang-orang istimewa yang dengan cara tak terlupakan mengingatkan tentang kebaikan? Aku benci atau lebih tepatnya iri menyaksikan Helvy dengan keberuntungannya. Juga iri dengan kepekaan hatinya untuk menyadari keberadaan orang-orang itu. 4. Aku benci kemampuannya membaca fikiranku “Ketika kau masih bertemu pagi, Helvy Dan kau putuskan untuk berdiri menghadapi Berjuang dengan hati di jalan Illahi Bukan demi dirimu sendiri Maka saat itu, Helvy Kau telah mengakhiri hari Dengan kemenangan sejati Puisi itu tak sengaja kutemukan saat aku menjalani hari-hari pendidikan beratku di fakultas kedokteran dan rumah sakit. Bagaimana dia bisa tahu bahwa tiap pagi, aku tak ingin membuka kelopak mata? Bagaimana kau tahu bahwa tiap hari aku ingin selalu kalah? Mungkin lebih mudah bagiku bila aku lari saja. Atau diam saja. Aku benci sekali puisi ini yang membuatku tetap bangkit dan tetap harus memberi senyum ke pasien-pasien renta yang bawel itu. Tetap berseru selembut mungkin pada pasien anak yang rewel. Tetap bertahan saat dimaki-maki para senior. Tetap memicingkan kesadaran sekeras mungkin walau badanku remuk redam. Tanpa dibayar. Tetap bersyukur dengan makanan yang lebih pantas jadi makanan kucing. Tapi puisi ini berhasil menohokku. Bahwa ternyata Allah membaca fikiranku. Mungkin DIA memang menginginkanku menjadi dokter seperti sekarang. 5. Aku benci caranya menyiksaku Ketika Mas Gagah Pergi, Sebuah tulisan “bersejarah” dari Helvy itu menyadarkanku bahwa aku punya pilihan jalan lain. Bahwa di luar semestaku selama ini, ternyata ada yang namanya Nasyid, ada yang namanya pakaian muslimah, ada kesederhanaan Islam yang indah, ada perjuangan mencari jati diri, ada penantian manis di ujung jalan yang berbeda. Ketika Mas Gagah Pergi, dia meninggalkan kecamuk hebat dalam hatiku yang teramat hebat. Dilema antara apakah tetap tinggal dalam kejahiliyahanku yang nyaman atau berusaha berusaha berubah, berbalik mengikuti punggung Mas Gagah. Helvy, mengapa Kau memaksaku dengan cara begini? Mungkin lebih baik kalau kau berteriak-teriak di telingaku, karena aku pasti akan lebih mudah untuk tak akan mendengarkanmu. Tapi cara licik seperti ini berhasil menyelusup ke titik kesadaranku. Sulit untuk membantah hati nuraniku sendiri. 6. Aku benci saat dia berbohong Dalam satu dialog publik, dia pernah mengatakan “Dalam menulis itu, yang penting tekad dan latihan”. Katanya lagi, “Dari sekotak teh Sosro saja, bisa menjelma jadi trilyunan kata” Ini yang kuputar-putar terus dalam sirkulus otakku tiap saat ingin menulis. Dan sekarang aku memandangi lekat Teh kotak di depanku yang diam tak bergeming. Menungguku bercerita banyak tentangnya. Ah, ternyata kau bohong Helvy. BOHONG! Alih-alih menjelma trilyunan, satu kalimat saja tak kelihatan batang hidungnya. Jangan tanyakan berapa keras usahaku. Tetap saja hasilnya tak memuaskan. Aku bahkan masih tidak suka tulisanku sendiri. Bolehkah aku menyimpulkan, bahwa kemampuan kita adalah pada akhirnya “Given”. Dan menjadi apa kita adalah “Chosen”. Diberikan dan dipilihkan Tuhan. Apa yang kita usahakan, apa yang kita cita-citakan belum tentu menjadi jalan hidup kita. Tetapi aku bersyukur, dari sekian banyak orang di dunia ini, kau yang terpilih menjadi sumber inspirasi. 7. Aku benci saat dia membuatku tertawa Tak lupa aku tentang cerita lucu Helvy pertemuan pertamanya dengan kak Seto, 28 tahun yang lalu. Saat di acara Aneka Ria Anak, tubuh kurus kecil Helvy dengan bando jeleknya harus kalah berebutan melawan teman-teman lain yang gemuk dan tinggi untuk berdekatan dengan kak Seto. Helvy mengenangnya “Akhirnya saya cuma kebagian berdiri di pojok di belakang. Padahal saya ingin sekali bertemu Kak Seto. Saya bahkan harus berjinjit untuk meyakinkan bahwa saya benar-benar bisa masuk kotak televisi”. Bagaimana hal sesederhana itu menjadi “sesuatu” di jarimu, Helvy? 8. Yang lebih buruk, dia membuatku menangis. Helvy melanjutkan ceritanya tentang Kak Seto “Tanpa saya duga, entah mengapa, Kak Seto memangil saya ke tengah, dekat mereka. Kak Seto memintanya bernyanyi dan berkata “Kamu manis sekali pakai bando itu. Apalagi kalau sambil senyum ya, dik”. “Sampai sekarang”, kata Helvy. Apa yang dilakukan Kak seto mengesankannya. Dia, -anak kecil dengan bando jelek yang pegal berdiri di pojok- merasa sangat dihargai saat itu. Dan sekali lagi ceritamu membuatku menitikkan air mata. Sebenarnya aku senang tertawa. Dan aku suka juga menangis. Tapi Helvy, bisakah kau tidak membuatku melakukan keduanya dalam satu waktu? 9. Aku benci kisah cintanya Tomi: “Kemarin ketika sholat di masjid, ustadz yang berceramah menyampaikan tentang bidadari-bidadari yang akan diberikan Allah, yang akan menjadi istri para lelaki beriman di surga nanti. Bunda tahu, aku berharap aku tak mendapatkan para bidadari itu. Aku hanya ingin bersama bunda menjadi suamimu di dunia dan di surga nanti”. Faiz: “Bunda, kucintai kau seperti aku mencintai surga” Berhentilah Helvy, berhenti Tomi, berhentilah Faiz. Aku benci ini. Kisah ini terlalu indah hingga ku tak bisa menolak untuk tiba-tiba rindu suamiku. 10. Aku membencimu karena kau tidak tahu bahwa aku mencintaimu. Nah. Semoga sekarang kau tahu. Aku menulis ini agar tersampaikan padamu bahwa dari cinta yang kau sebarkan selama 40 tahun ini, tak ada satupun yg hilang. Cinta itu bersemayam di derak dan gerak pembaca tulisan dan aktivitasmu, dan suatu saat akan kembali padamu berlipat-lipat.
Subscribe to:
Posts (Atom)
About MeBlog ArchiveRecent CommentsLabels
Annyyeong! |