Showing posts with label Salim A fillah. Show all posts
Showing posts with label Salim A fillah. Show all posts

hmmm..wahai cerminku...

0 komentar Tuesday, October 27, 2009
Pada kami, syaithan membisikkan

kalimat-kalimat pemisah

gemuruh bagai lebah

keakraban dibakar rasa, sergapan kecewa


tapi di saat seperti inilah

kami paksa hati untuk melawan

katakan tidak pada sang syaithan


setiap mukmin adalah cermin satu bagi yang lain

maka tiap aib adalah kaca diri

“maafkan saudaraku,

adalah rombeng imanku yang membuatmu diserbu gelombang pilu”


tapi di saat seperti inilah

kami paksa hati untuk melawan

jangan sampai satu sama lain

membantu syaithan membawakan jerumus


karena bahkan dalam segala ketakindahan hidupmu

kau masih hadirkan persaudaraan terindah untukku

karena dalam tiap prasangka di antara kita

masih tersimpan cinta


mari kita berjanji

hari ini, untuk kesekian kali

telah kita perbarui sebuah ikatan suci

dan izinkan aku

melihat kembali senyum itu

ruku’ yang lurus sempurna

kopiah putih bersahaja

dan mujahid mujahidah gigih yang melangkah gagah

merengkuh tanganku, menjemput syahid dalam padu

***
Read On

SyurAA...anugerah yang dipertanyakan

0 komentar


“..Karena jiwa tidak akan pernah menang dalam semua kecamuk perang, kecuali setelah ia menang dalam pertempuran rasa, pertarungan akhlaq, dan pergulatan manhaj..”
-Sayyid Quthb, Fii Zhilaalil Quran 2/383-


“Apa makna sebuah kekalahan?”, begitu seorang kawan berbisik ketika menyeksamai penilaian hasil kerja da’wah kami. Saya helakan nafas panjang membersamainya. Lalu kata-kata saya berlayar ke kedalaman matanya. “Sebuah keyakinan akan kemenangan telah menggerakkan kita untuk berpeluh-peluh, bersicepat, dan mengikis harta, raga, serta jiwa. Lalu hasilnya membuat kita jerih, perih. Zhahirnya adalah kerugian, bukan?”


Tetapi tahukah engkau kawan, apa makna kerugian?
Saya cobakan senyum tercantik saya untuknya. Lalu kalimat berikut ini berhembus mesra di antara kami. “Kerugian tak jadi soal, jika ianya menumbuhkan segolongan yang terlatih, kelompok yang menyadari dan menghargai tanggungjawab. Tiadanya kesalahan, ketergelinciran, dan kerugian dalam kehidupan ini tidaklah bermakna keuntungan, jika hasilnya adalah jama’ah yang tetap kerdil, bagai bayi yang tak bertumbuh, tak berkembang, dan selalu menghajatkan penjagaan.”


Apakah saya sedang menghibur diri dengan mendusta jiwa? Semoga tidak. Kata-kata Sayyid Quthb yang saya kutip sebagai awalan adalah kerangka untuk memaknai kekalahan perang sebagai kemenangan jiwa. Sayyid menyebut tiga medan; pertempuran rasa, pertarungan akhlaq, dan pergulatan manhaj. Di kesempatan yang pendek ini, izinkan saya hanya bicara tentang yang ketiga; pergulatan manhaj. Dan kita ambil syuraa sebagai contoh tentang manhaj yang bergulat itu.


Kapankah syuraa –musyawarah- difirmankan dengan kalimat perintah oleh Allah, ‘Azza wa Jalla? Takjub saya di saat mendapatkan jawabnya. Tapi sebelum berbagi jawab ini, mari kita ingat lagi secercah kisah tentang Perang Uhud.


Dalam sidang menjelang perang, para sahabat bersikukuh untuk keluar menyambut musuh. Tapi Sang Nabi bermimpi ada lembu disembelih, mata pedang beliau tergigir, dan beliau memasukkan tangannya ke dalam baju besi kokoh. Beberapa ekor lembu yang dikayau itu beliau artikan akan ada sahabat-sahabat beliau yang terbunuh. Mata pedang yang rompal berarti anggota keluarga beliau akan mendapatkan mushibah. Dan baju besi yang kokoh itu adalah kota Madinah.


Kita sudah tahu kelanjutan kisah. Atas pendapat sahabat-sahabatnya, Sang Nabi mengalah. Mereka berangkat menghadang musuh di Uhud. ’Abdullah ibn Ubay, si munafik, yang dalam musyawarah habis-habisan mendukung mimpi Sang Nabi berkata, ”Sungguh celaka kalian yang menentang Rasulullah!” Lalu bersama sepertiga pasukan ia menyempal pergi, meninggalkan Sang Nabi. Dan hari Uhud terjadilah. Kemenangan dan kekalahan dipergilirkan. Tujuh puluh lelaki mulia menjadi syuhada’. Sang Nabi luka-luka, bahkan dikabarkan hilang nyawa.


Hm.. Izinkan saya bicara kali lain tentang keguncangan perasaan dan akhlaq dalam kekalahan ini. Kali ini, kita hanya akan bicara tentang pergulatan manhaj. Dan manhaj yang paling terguncang oleh kekalahan ini adalah prinsip syuraa.


Dulu, di Surat Asy Syuraa ayat ketigapuluh delapan, Allah memuji syuraa sebagai bagian dari urusan orang-orang yang mematuhi seruan Rabbnya, yang mendirikan shalat dan menafkahkan rizqi di jalanNya. Kini, bagaimana nasib syuraa setelah kekalahan Uhud? Bukankah dalam syuraa menjelang perang, mereka telah memenangkan pendapat mayoritas atas mimpi meyakinkan Sang Nabi? Lalu mereka kalah. Syubhat-syubhat berkerumuk. Syuraa-kah penyebab kekalahan itu? Bukankah ada serpih kebenaran dalam ocehan panas ’Abdullah ibn Ubay? Katanya, ”Aah.. Sudah kukatakan pada kalian jangan menentang mimpi Sang Nabi, jangan keluar dari Madinah, dan jangan mengikutinya menyongsong musuh!”


Syuraa.. Masihkah ia akan dilakukan jika hasilnya sebagaimana mereka rasakan; kekalahan yang memedihkan? Atau biarkanlah Sang Nabi yang kata-katanya suci mengatur segalanya dan mereka siap sedia bekerja tanpa kata? Subhanallah, inilah kalimat yang difirmankan oleh Allah Subhanahu wa Ta’alaa kepada RasulNya:

“..Maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan tetap bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu..” (Ali ‘Imran 159)

Ternyata, di saat syuraa diragukan dan dipertanyakan, justru Allah menjadikannya perintah. Di saat syuraa mereka maknai sebagai sebab kekalahan, Allah mengatakan, “Bukan! Dan tetaplah bermusyawarah!” Sebuah manhaj dalam agama ini telah Allah tegakkan dengan ayat ini. Bahwa Sang Nabi pendapatnya benar, tetapi syuraa adalah jalan yang lebih dekat pada ridhaNya. Bahwa memang ada kekalahan, tetapi pergulatan manhaj harus dimenangkan; syuraa! Dan bukankah kekalahan datang justru dari ketidaktaatan para pemanah di atas bukit atas hasil syuraa? Tegasnya, syuraa tak bersalah. Dia harus dimenangkan dalam pergulatan manhaj. Dan dilanjutkan.


Akhirnya, ada seorang lelaki Quraisy menyimpulkan tafsir ayat ini. “Keputusan yang salah dari sebuah musyawarah”, tulisnya, “Jauh lebih baik daripada pendapat pribadi, betapapun benarnya.” Wah, sejauh itukah? Ya. Lelaki ini sedang memberi kita sebuah kaidah tentang syuraa; manhaj agama Sang Nabi yang harus kita menangkan dalam pergulatan melawan syubhat dalam jiwa dan hati. Saya kira dia tidak asal memfatwa. Sebab dialah sang ‘alim, Imam Asy Syafi’i.
Read On

menyerahkah??

0 komentar
satu waktu, sudah lama sekali
seseorang berkata dengan wajah sendu
“alangkah beratnya.. alangkah banyak rintangan..
alangkah berbilang sandungan.. alangkah rumitnya.”
***

aku bertanya, “lalu?”
dia menatapku dalam-dalam, lalu menunduk
“apakah sebaiknya kuhentikan saja ikhtiar ini?”
“hanya karena itu kau menyerah kawan?”
aku bertanya meski tak begitu yakin apakah aku sanggup
menghadapi selaksa badai ujian dalam ikhtiar seperti dialaminya
“yah.. bagaimana lagi? tidakkah semua hadangan ini pertanda bahwa
Allah tak meridhainya?”
***

aku membersamainya menghela nafas panjang
lalu bertanya, “andai Muhammad, shallaLlahu ‘alaihi wa sallam berfikir
sebagaimana engkau menalar, akan adakah islam di muka bumi?”
“maksudmu?”, ia terbelalak
***

“ya. andai muhammad berfikir bahwa banyak kesulitan
berarti tak diridhai Allah, bukankah ia akan berhenti di awal-awal risalah?”
***

ada banyak titik sepertimu saat ini, saat muhammad
bisa mempertimbangkan untuk menghentikan ikhtiar
mungkin saat dalam ruku’nya ia dijerat di bagian leher
mungkin saat ia sujud lalu kepalanya disiram isi perut unta
mungkin saat ia bangkit dari duduk lalu dahinya disambar batu
mungkin saat ia dikatai gila, penyair, dukun, dan tukang sihir
mungkin saat ia dan keluarga diboikot total di syi’b Abi Thalib
mungkin saat ia saksikan sahabat-sahabatnya disiksa di depan mata
atau saat paman terkasih dan isteri tersayang berpulang
atau justru saat dunia ditawarkan padanya; tahta, harta, wanita..”
***

“jika muhammad berfikir sebagaimana engkau menalar
tidakkah ia punya banyak saat untuk memilih berhenti?
tapi muhammad tahu kawan
ridha Allah tak terletak pada sulit atau mudahnya
berat atau ringannya, bahagia atau deritanya
senyum atau lukanya, tawa atau tangisnya”
***

“ridha Allah terletak pada
apakah kita mentaatiNya
dalam menghadapi semua itu
apakah kita berjalan dengan menjaga perintah dan larangNya
dalam semua keadaan dan ikhtiar yang kita lakukan..”


*thanks to Salim*

the path may be diffiucult, but the final is certain..
Read On

Khilafah adalah...

0 komentar
Eh ada lagi yang menarik dari bukunya Salim A.fillah, semoga jadi wawasan yang mencerahkan…

Berdebat tanpa amal sungguh saya benci. Tetapi saya berharap slogan itu diganti. “Khilafah is the only solution”, tidaklah menggambarkan cita perjuangan peradaban Islam. Bagi ummat ini, khilafah adalah system terbaik, cara-bukan solusi, apalagi tujuan- untuk merumuskan dan menjalankan solusi-solusi besar bagi permasalahan ummat, bahkan dunia. Maka khilafah bukanlah sesuatu yang instant menyelesaikan persoalan. Tak ada serta merta di sini. Kerja-kerja itu harus dimulai sejak sekarang. Tak hanya menyiapkan perangkat system tapi juga sumberdaya pengelolanya. Seorang muslim yang mu’min lagi muttaqin. Seorang professional yang muhsin, seorang shalih yang mushlih.

Nah,jika saya ringkas,agaknya sikap kita terhadap khilafah ada dalam empat poin berikut:
  1. khilafah itu adalah satu keniscayaan Nubuwwat, realistis dan bukan utopia.
  2. khilafah itu memerlukan sebab, maka kewajiban kita adalah berpartisipasi dalam mengikhtiyarkan sebabnya, bukan menunggu berpangku tangan.
  3. khilafah itu bukan “solusi jadi” atas permasalahan ummat, tetapi alat yang dipakai untuk merumuskan dan menjalankan solusi, maka dia membutuhkan banyak sekali perangkat.
  4. sumberdaya yang akan mengelola perangkat-perangkat dalam khilafah haruslah:
    1. kapabel dan kredibel. Maka dibutuhkan tarbiyah yang membuat mereka tumbuh, berkembang, berdaya, terjaga dan terkokohkan.
    2. Kompeten. Maka dibutuhkan banyak kader da’wah yang terdidik ahli, spesialis berwawasan luas untuk mengisi kualifikasi di berbagai bidang pelayanan ummat.
    3. Professional dan well-trained. Maka dibutuhkan banyak eksperimen, latihan dan pembelajaran yang diperoleh melalui pengelolaan public dalam organisasi da’wah, lembaga pelayanan, dan terlebih lagi institusi pemerintahan derah maupun pusat.
    4. Terorganisasi. Maka dibutuhkan satu ‘amal jama’i yang menopang segala akitivitas persiapan menuju khilafah.

Begitulah. Hingga nantinya, kata Hasan Al Banna, kita menyelesaikan tahap tugas Ustadziyatul ‘Alaam. Khilafah itu bukan berdiri angkuh atau berteriak nyaring di atas tahta dan mahkota, tetapi bekerja keras dan tersenyum ramah menjadi teladan semesta. Hingga nantinya, kata Anis Matta, ada satu titik di mana manusia tak bisa lagimembedakan pesona kebenaran islam dengan pesona keagungan seorang muslim. Itulah kemenangan dan Allah tempat memohon pertolongan...





-----belum puas? Baca aja bukunya ya…^_^----

Read On

islamic marriage

0 komentar



Salah satu fragmen menarik dari buku “Saksikan Bahwa Aku Seorang Muslim”  by my most favorite writer, Salim A.fillah:


…Amat heran saya mendengar kata-kata yang dipakai sebagai alasan untuk untuk menunda pernikahan. “Akhi..”, dengan penuh lembut seorang ikhwan pernah berkata, “saya kira antum berbicara tentang pernikahan bukan dengan orang yang tepat. Saya ingin menikah,insyaAllah nanti, setelah mengoptimalkan produktivitas da’wah saya. Ada banyak hal yang belum saya lakukan. Kontribusi da’wah saya masih terlalu kecil. Saya masih jauh dari kualifikasi pemuda yang digambarkan sebagai jundi da’wah. Apa kita ngga malu, bahwa yang kita bicarakan pernikahan, pernikahan dan pernikahan? Lihatlah pemuda-pemuda seperti Usamah ibn Zaid yang menjadi panglima besar di usia 18 tahun. Lihatlah Mush’ab ibn ‘Umair yang di usia duapuluhan menjadi duta untuk membuka da’wah di madinah. Lihatlah ‘Ali ibn Abi Thalib..”

            Allahu Akbar! Secara pribadi, saya terkagum pada ghirah da’wah beliau yang setegar gunung dan sekukuh karang. Semoga Allah menguatkannya selalu. Hanya saja, saya menganggap bahwa cara berfikir beliau ini berbahaya. Mungkin saya subjektif. Tetapi tersirat dalam kalimat beliau,seolah ada pertentangan antara produktivitas da’wah dengan pernikahan. Sepertinya, kalau sudah menikah maka kita tidak bisa meneladani Usamah, Mush’ab dan Ali. Sepertinya sesudah menikah, tidak termungkinkan untuk menjadi aktivis dengan kemuliaan sebagaimana ketika kita belum menikah. Seolah-olah, puncak prestasi da’wah selalu kita raih sebelum menikah.
            Dalam pengamatan saya, cara berfikir ini bermula dari persepsi bahwa “menikah dengan seorang akhwat yang shalihah adalah buah dari da’wah”. Pernikahan dipersepsikan sebagai salah satu terminal perhentian, tempat memetik manfaat. Pernikahan tidak dianggap sebagai bagian dari da’wah. Pernikahan tidak dianggap sebagai episode tempat dua orang saling menguatkan untuk lebih berkontribusi dan berprestasi dalam da’wah. Seakan pernikahan adalah episode baru yang kasarnya,menjadi tujuan dari da’wahnya selama ini.
            Syukurlah, argument yang beliau bangun sekaligus menolak cara berfikir beliau. Kok bisa?Iya. Beliau, -‘afwan,saya jadi sok tahu- kurang lengkap mengutip sirah sahabat. Sefaham kita, sebelum menjadi panglima di usia 18 tahun, Usamah ibn Zaid telah menikah dengan Fathimah binti Qais di usia 16 tahun. Sebelum menjadi duta ke madinah, Mush’ab ibn ‘Umair Al Khair telah menikah dengan Hamnah binti Jahsyi. Dan sebelum mengambil peran-peran besar di sisi Rasulullah, ‘Ali ibn Abi Thalib Radhiyallahu ‘Anhu telah menjadi menantu beliau. Mereka telah berjibaku memimpin keluarga sebelum sukses memimpin da’wah.
            Nah,mari kita bersedih ketika pernikahan memutus keterlibatan saudara-saudara kita dari da’wah. Mari kita bersedih ketika pernikahan menumpulkan. Mari menitikkan air mata jika dengan menikah orang terhalang menjadi Usama, Mush’ab dan ‘ali. Mari kita menangis di hadapan Allah jika pernikahan telah melenakan manusia dari tugas agung untuk berda’wah dan berjihad di jalanNya…






------------renungan untuk diri dan diri-diri yang mau merenungi-------

Read On