SyurAA...anugerah yang dipertanyakan



“..Karena jiwa tidak akan pernah menang dalam semua kecamuk perang, kecuali setelah ia menang dalam pertempuran rasa, pertarungan akhlaq, dan pergulatan manhaj..”
-Sayyid Quthb, Fii Zhilaalil Quran 2/383-


“Apa makna sebuah kekalahan?”, begitu seorang kawan berbisik ketika menyeksamai penilaian hasil kerja da’wah kami. Saya helakan nafas panjang membersamainya. Lalu kata-kata saya berlayar ke kedalaman matanya. “Sebuah keyakinan akan kemenangan telah menggerakkan kita untuk berpeluh-peluh, bersicepat, dan mengikis harta, raga, serta jiwa. Lalu hasilnya membuat kita jerih, perih. Zhahirnya adalah kerugian, bukan?”


Tetapi tahukah engkau kawan, apa makna kerugian?
Saya cobakan senyum tercantik saya untuknya. Lalu kalimat berikut ini berhembus mesra di antara kami. “Kerugian tak jadi soal, jika ianya menumbuhkan segolongan yang terlatih, kelompok yang menyadari dan menghargai tanggungjawab. Tiadanya kesalahan, ketergelinciran, dan kerugian dalam kehidupan ini tidaklah bermakna keuntungan, jika hasilnya adalah jama’ah yang tetap kerdil, bagai bayi yang tak bertumbuh, tak berkembang, dan selalu menghajatkan penjagaan.”


Apakah saya sedang menghibur diri dengan mendusta jiwa? Semoga tidak. Kata-kata Sayyid Quthb yang saya kutip sebagai awalan adalah kerangka untuk memaknai kekalahan perang sebagai kemenangan jiwa. Sayyid menyebut tiga medan; pertempuran rasa, pertarungan akhlaq, dan pergulatan manhaj. Di kesempatan yang pendek ini, izinkan saya hanya bicara tentang yang ketiga; pergulatan manhaj. Dan kita ambil syuraa sebagai contoh tentang manhaj yang bergulat itu.


Kapankah syuraa –musyawarah- difirmankan dengan kalimat perintah oleh Allah, ‘Azza wa Jalla? Takjub saya di saat mendapatkan jawabnya. Tapi sebelum berbagi jawab ini, mari kita ingat lagi secercah kisah tentang Perang Uhud.


Dalam sidang menjelang perang, para sahabat bersikukuh untuk keluar menyambut musuh. Tapi Sang Nabi bermimpi ada lembu disembelih, mata pedang beliau tergigir, dan beliau memasukkan tangannya ke dalam baju besi kokoh. Beberapa ekor lembu yang dikayau itu beliau artikan akan ada sahabat-sahabat beliau yang terbunuh. Mata pedang yang rompal berarti anggota keluarga beliau akan mendapatkan mushibah. Dan baju besi yang kokoh itu adalah kota Madinah.


Kita sudah tahu kelanjutan kisah. Atas pendapat sahabat-sahabatnya, Sang Nabi mengalah. Mereka berangkat menghadang musuh di Uhud. ’Abdullah ibn Ubay, si munafik, yang dalam musyawarah habis-habisan mendukung mimpi Sang Nabi berkata, ”Sungguh celaka kalian yang menentang Rasulullah!” Lalu bersama sepertiga pasukan ia menyempal pergi, meninggalkan Sang Nabi. Dan hari Uhud terjadilah. Kemenangan dan kekalahan dipergilirkan. Tujuh puluh lelaki mulia menjadi syuhada’. Sang Nabi luka-luka, bahkan dikabarkan hilang nyawa.


Hm.. Izinkan saya bicara kali lain tentang keguncangan perasaan dan akhlaq dalam kekalahan ini. Kali ini, kita hanya akan bicara tentang pergulatan manhaj. Dan manhaj yang paling terguncang oleh kekalahan ini adalah prinsip syuraa.


Dulu, di Surat Asy Syuraa ayat ketigapuluh delapan, Allah memuji syuraa sebagai bagian dari urusan orang-orang yang mematuhi seruan Rabbnya, yang mendirikan shalat dan menafkahkan rizqi di jalanNya. Kini, bagaimana nasib syuraa setelah kekalahan Uhud? Bukankah dalam syuraa menjelang perang, mereka telah memenangkan pendapat mayoritas atas mimpi meyakinkan Sang Nabi? Lalu mereka kalah. Syubhat-syubhat berkerumuk. Syuraa-kah penyebab kekalahan itu? Bukankah ada serpih kebenaran dalam ocehan panas ’Abdullah ibn Ubay? Katanya, ”Aah.. Sudah kukatakan pada kalian jangan menentang mimpi Sang Nabi, jangan keluar dari Madinah, dan jangan mengikutinya menyongsong musuh!”


Syuraa.. Masihkah ia akan dilakukan jika hasilnya sebagaimana mereka rasakan; kekalahan yang memedihkan? Atau biarkanlah Sang Nabi yang kata-katanya suci mengatur segalanya dan mereka siap sedia bekerja tanpa kata? Subhanallah, inilah kalimat yang difirmankan oleh Allah Subhanahu wa Ta’alaa kepada RasulNya:

“..Maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan tetap bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu..” (Ali ‘Imran 159)

Ternyata, di saat syuraa diragukan dan dipertanyakan, justru Allah menjadikannya perintah. Di saat syuraa mereka maknai sebagai sebab kekalahan, Allah mengatakan, “Bukan! Dan tetaplah bermusyawarah!” Sebuah manhaj dalam agama ini telah Allah tegakkan dengan ayat ini. Bahwa Sang Nabi pendapatnya benar, tetapi syuraa adalah jalan yang lebih dekat pada ridhaNya. Bahwa memang ada kekalahan, tetapi pergulatan manhaj harus dimenangkan; syuraa! Dan bukankah kekalahan datang justru dari ketidaktaatan para pemanah di atas bukit atas hasil syuraa? Tegasnya, syuraa tak bersalah. Dia harus dimenangkan dalam pergulatan manhaj. Dan dilanjutkan.


Akhirnya, ada seorang lelaki Quraisy menyimpulkan tafsir ayat ini. “Keputusan yang salah dari sebuah musyawarah”, tulisnya, “Jauh lebih baik daripada pendapat pribadi, betapapun benarnya.” Wah, sejauh itukah? Ya. Lelaki ini sedang memberi kita sebuah kaidah tentang syuraa; manhaj agama Sang Nabi yang harus kita menangkan dalam pergulatan melawan syubhat dalam jiwa dan hati. Saya kira dia tidak asal memfatwa. Sebab dialah sang ‘alim, Imam Asy Syafi’i.

0 komentar:

Post a Comment