islamic marriage




Salah satu fragmen menarik dari buku “Saksikan Bahwa Aku Seorang Muslim”  by my most favorite writer, Salim A.fillah:


…Amat heran saya mendengar kata-kata yang dipakai sebagai alasan untuk untuk menunda pernikahan. “Akhi..”, dengan penuh lembut seorang ikhwan pernah berkata, “saya kira antum berbicara tentang pernikahan bukan dengan orang yang tepat. Saya ingin menikah,insyaAllah nanti, setelah mengoptimalkan produktivitas da’wah saya. Ada banyak hal yang belum saya lakukan. Kontribusi da’wah saya masih terlalu kecil. Saya masih jauh dari kualifikasi pemuda yang digambarkan sebagai jundi da’wah. Apa kita ngga malu, bahwa yang kita bicarakan pernikahan, pernikahan dan pernikahan? Lihatlah pemuda-pemuda seperti Usamah ibn Zaid yang menjadi panglima besar di usia 18 tahun. Lihatlah Mush’ab ibn ‘Umair yang di usia duapuluhan menjadi duta untuk membuka da’wah di madinah. Lihatlah ‘Ali ibn Abi Thalib..”

            Allahu Akbar! Secara pribadi, saya terkagum pada ghirah da’wah beliau yang setegar gunung dan sekukuh karang. Semoga Allah menguatkannya selalu. Hanya saja, saya menganggap bahwa cara berfikir beliau ini berbahaya. Mungkin saya subjektif. Tetapi tersirat dalam kalimat beliau,seolah ada pertentangan antara produktivitas da’wah dengan pernikahan. Sepertinya, kalau sudah menikah maka kita tidak bisa meneladani Usamah, Mush’ab dan Ali. Sepertinya sesudah menikah, tidak termungkinkan untuk menjadi aktivis dengan kemuliaan sebagaimana ketika kita belum menikah. Seolah-olah, puncak prestasi da’wah selalu kita raih sebelum menikah.
            Dalam pengamatan saya, cara berfikir ini bermula dari persepsi bahwa “menikah dengan seorang akhwat yang shalihah adalah buah dari da’wah”. Pernikahan dipersepsikan sebagai salah satu terminal perhentian, tempat memetik manfaat. Pernikahan tidak dianggap sebagai bagian dari da’wah. Pernikahan tidak dianggap sebagai episode tempat dua orang saling menguatkan untuk lebih berkontribusi dan berprestasi dalam da’wah. Seakan pernikahan adalah episode baru yang kasarnya,menjadi tujuan dari da’wahnya selama ini.
            Syukurlah, argument yang beliau bangun sekaligus menolak cara berfikir beliau. Kok bisa?Iya. Beliau, -‘afwan,saya jadi sok tahu- kurang lengkap mengutip sirah sahabat. Sefaham kita, sebelum menjadi panglima di usia 18 tahun, Usamah ibn Zaid telah menikah dengan Fathimah binti Qais di usia 16 tahun. Sebelum menjadi duta ke madinah, Mush’ab ibn ‘Umair Al Khair telah menikah dengan Hamnah binti Jahsyi. Dan sebelum mengambil peran-peran besar di sisi Rasulullah, ‘Ali ibn Abi Thalib Radhiyallahu ‘Anhu telah menjadi menantu beliau. Mereka telah berjibaku memimpin keluarga sebelum sukses memimpin da’wah.
            Nah,mari kita bersedih ketika pernikahan memutus keterlibatan saudara-saudara kita dari da’wah. Mari kita bersedih ketika pernikahan menumpulkan. Mari menitikkan air mata jika dengan menikah orang terhalang menjadi Usama, Mush’ab dan ‘ali. Mari kita menangis di hadapan Allah jika pernikahan telah melenakan manusia dari tugas agung untuk berda’wah dan berjihad di jalanNya…






------------renungan untuk diri dan diri-diri yang mau merenungi-------

0 komentar:

Post a Comment