Showing posts with label Published. Show all posts
Showing posts with label Published. Show all posts
Siapapun..., Aku Mencintaimu…4 komentar Monday, December 7, 2009
Kata banyak teman, saya termasuk orang yang cool, tenang dan sepertinya tidak bermasalah tentang ketertarikan terhadap lawan jenis. Kata mereka sepertinya saya tidak tertarik untuk jatuh cinta. Dan saya hanya tertawa kecil mendengarnya, sambil berlirik dalam bisik “wallahu ya’lam…” dan Allah saja yang mengetahui. Ya, hanya Allah saja yang tahu bagaimana hati ini.
Memang Fitrah seseorang untuk jatuh cinta, akan tetapi tinggal bagaimana kita menyikapi fitrah yang telah Allah anugrahkan kepada kita itu. Bagaimana penyikapan yang tepat? Dengan tidak mengeksresikan cinta (terhadap lawan jenis) tersebut. Karena pengeksresian itu tidak mendatangkan apa2, selain kerusakan hati dan amal. Dan pedih sekali, cinta itu akan menjadi tandingan cinta kepada Allah. Bukankah orang2 yang cintanya menandingi cinta kepada Allah adalah kaum kuffar? Bergidik saya, itu adalah dosa yang tak akan pernah diampuni. Namun bila rasa itu tak terelakkan karena diri ini begitu lemah dan rapuh, ingin rasanya saya hinggapkan rasa itu pada tempat yang aman, tersembunyi dan berusaha terbangkan secepat2nya dari bilik hati. Biarlah sebagian ruang itu saya kosongkan untuk seseorang yang ditakdirkan Allah menjadi teman hidup saya. Jangan tegesa2, toh Allah sudah berjanji. “… Dan wanita2 yang baik adalah untuk laki2 yang baik dan laki2 yang baik adalah untuk wanita2 yang baik (pula)” (An-Nuur 24: 26) Dan demi Allah, maha benar Allah dengan segala janjinya. Tak terhitung bila kita lihat, banyaknya pasangan2 yang bercerai dua-tiga bulan setelah menikah. Padahal masa pacarannya menghabiskan waktu begitu lama (2 tahun atau lebih). Apa yang didapat dari hubungan seperti itu selain rantai dosa2 dari tiap kata, tiap pertemuan, tiap pandangan mata, tiap sentuhan kulit??? Ada yang bimbang, bagaimana bisa menikah dengan orang yang tidak kita cintai? atau apakah tidak boleh menikah dengan orang yang kita cintai? Tidak maksud saya bukan begitu. Islam tidak memperbolehkan pergaulan tanpa sekat fisik maupun hati seperti yang banyak kita lihat di masa kini. Namun juga ia mengharamkan kerahiban. Ada pernikahan yang merupakan solusi terbaik. Sangat saya hargai, bila ada sepasang manusia yang saling mencintai lalu bersegera untuk menikah. Itu jauh lebih baik dari pada luntang-lantung berduaan tanpa status halal. Namun, akan lebih tinggi maknanya bila kita belajar mencintai siapapun yang Allah takdirkan untuk kita. Itu adalah bentuk keyakinan dan penjagaan hati yang erat. Saya juga belum merasakannya, tapi saya bisa membayangkan dan Andapun bisa merasakan betapa banyak sensasi2 mengejutkan, mendebarkan, menyenangkan dan tak terduga dalam proses belajar mencintai itu. Begitu indahnya pertemuan pertama, kerlingan pertama, dan sentuhan pertama. Ketika ada sesosok makhluk Allah yang asing namun tiba2 kita merasa sangat kenal dirinya. Tidakkah itu menawarkan kelezatan yang mengejutkan? Dan begitulah barokah Allah terhadap orang2 yang menjaga ketaatan dan hanya percaya pada-Nya. Bila Anda sekarang sedang menunggu seseorang utk mjalani kehidupan menuju ridho-Nya, bersabarlah dengan keindahan. Demi Allah, dia datang tidak karena kecantikan, kepintaran ataupun kekayaan. Tapi Allahlah yang menggerakkan. Janganlah tergesa untuk mengekspresikan cinta kepada dia sebelum Allah mengizinkan. belum tentu yang kau cintai adalah yang terbaik untukmu. Siapakah yang lebih mengetahui selain Allah? Simpanlah segala bentuk ungkapan cinta dan derap hati rapat2, Allah akan menjawabnya dengan lebih indah di saat yang tepat. “Siapakah engkau yang dizinkanNya ku titipkan bunga di hatimu? Siapapun aku mencintaimu…. *Published in Akhwat Modis Book,2005* IKHWAN GENIT3 komentarIkhwan, istilah yang selalu memberi kesan berbeda. Walaupun artinya sama, tetap laki-laki atau pria atau sebagainya. Namun tetap saja ada kekhususan di balik kata itu. Kata ikhwan masíh digunakan oleh kalangan terbatas, dan untuk para laki-laki yang terbatas pula. Laki-laki yang mengikuti kajian Islam secara intensif (ngaji) dan terlibat dalam alur dakwah sajalah yang biasa diberi sebutan ini. Ada yang mengatakan ini adalah pengangkatan derajat yang superficial dan dangkal, karena kita tidak bisa menilai seseorang dari tampilan fisik belaka. Apakah hanya dengan berjanggut atau celana di atas mata kaki bisa membuat seseorang dinobatkan laki-laki yang paling baik? Hal ini akan menguatkan keeksklusifan generasi dakwah di masyarakat. ada pula yang berpendapat pengistilahan tersebut akan berdampak ternodanya keikhlasan pengemban gelarnya. Saya menghargai para ikhwan itu. Mereka yang berani memikul tanggung jawab, yang bukan berbangga tetapi merasa lebih adanya penjagaan diri dengan nama itu. Mereka yang siangnya selalu disibukkan dengan semangatnya untuk berpikir dan berpeluh-peluh belajar, ngaji syuro, dauroh, memperjuangkan dakwah dan malamnya tepekur dalam zikir-zikir syahdu dan tersedu-sedu meminta ampunan atas dosa-dosanya. Jangan berpikir saya menulis tentang ini karena saya sedang menyukai ikhwan tertentu. Bukan, sungguh bukan. Namun, saya harus menceritakan bahwa langit tak selalu biru. Ada saja kelabu yang membuat kecewa. Suatu hari, saya pernah dihubungi seorang ikhwan yang katanya ingin menyambung silahturahmi. Walau dengan terbingung-bingung dalam rangka apa, saya berusaha berbaik sangka sekuat-kuatnya bahwa ia hanya ingin melebarkan relasi dakwah. Kami sering berdiskusi panjang lebar tentang perkembangan dakwah, keadaan politik dan sebagainya. Namun, baik sangka tersebut ternyata berbuah komunikasi-komunikasi berikutnya. Sampai pertanyaan yang tidak perlu pun terluncurkan dengan seringnya. Seperti, saya lagi apa? Apakah saya sudah makan? Perhatian-perhatian gencar seperti itu yang sangat berpotensi merusak hati yang memberi atau menerimanya. Dan puncaknya, satu saat ia bilang bahwa dia sayang saya dan berjanji ingin menikahi saya. Tercenunglah saya. Bukan, bukan merasa bahagia karena merasa disayangi, tapi saya disadarkan dengan pahit untuk harus mengevaluasi diri, apakah saya yang begitu membuka diri sehingga ia seberani itu? Dalam kesedihan itu, AllahuAkbar, allah menakdirkan saya tahu belangnya dengan telinga dan mata saya sendiri. Ternyata dia juga mencoba memikat banyak akhwat sekaligus. Dengan modus operandi yang sama. Dia gunakan label ikhwan itu untuk mendekati target akhwat-akhwat yang disukainya. Dan sangat disayangkan, tak satu-dua akhwat yang akhirnya terpikat denagn “keikhwanannya” itu, dan ikut tergelincir mengikuti langkah tipuan syaitan. Na’udzubillah….. Seorang ikhwan memang bukan malaikat sempurna, kadang ia tergelincir dan berbasah kealpaan. Ditambah lagi tak hentinya kelompok syaitan yang mengikuti dari segala penjuru. Sungguh menjadi pejuang agama Allah tidaklah mudah! Untuk mereka, tak henti saya berdoa semoga Allah selalu menjaga dalam rentang panjang jalan keimanan ini. Tapi bila ada penjahat-penjahat bercap palsu nama ikhwan, yang memanfaatkan jamaah ini untuk kepentingan pribadinya, untuk kesenangannya, maka mohon maaf lahir batin, menjauhlah dari sini, ikhwan genit!! Duduklah dengan tenang disinggasana nafsumu, bersiap-siap sajalah menyambut wanita genit yang bercap palsu, wanita yang juga sepertimu suka mencari perhatian dan senang menggoda. Allah telah mempersiapkan ia khusus untukmu. “Wanita2 yang keji adalah untuk laki2 yang keji, dan laki2 yang keji adalah untuk wanita2 yang keji (pula)..” (an nuur: 26) *Published in Akwat Modis Book, 2005* Sms Merah Muda0 komentar“Tetap istiqomah, Ukhti… Selamat berjuang. Semoga Allah menyertai anti.” Sender : Ikhwan +62817xxx Senyum timbul dari cakrawalanya dengan malu-malu. Serasa ada hangat menyelusup dada dan membuat jantung berdegup lebih cepat. Otaknya pun sekejap bertanya, “Ada apa?”, “Sungguh, bukan apa-apa. Aku hanya senang karena ada saudara yang menyemangatiku.” Si akhwat menyangkal hatinya cepat-cepat. Dan ia bergegas meninggalkan kamarnya, ada dauroh. Ia berlari sambil membawa sekeping rasa bahagia membaca sms tadi yang sebagian besar bukan karena isinya, melainkan karena nama pengirimnya. “Ana lagi di bundaran HI, Ukhti. Doakan kami bisa memperjuangkan ini.” Sender : Ikhwan +628179823xxx Untuk apa dia memberitahukan ini padaku. Bukankah banyak ikhwan atau akhwat lain? Nada protes bergema di benaknya. Tapi di suatu tempat, entah di mana ada derak-derak yang berhembus lalu. Derak samar bangga menjadi perempuan yang terpilih yang di-sms-nya. Pagi itu, handphone kesayangannya berbunyi. “Ukhti, Selamat hari lahir. Semoga hari-hari yang dijalani lebih memberi arti.” Dada membuncah hampir meledak bahagia. “Dia bahkan ingat hari lahirku!” Dibacanya dengan berbunga-bunga. Tapi pengirimnya… Sender : Akhwat +6281349696xxx Senyum tergurat memudar. Tarikan napas panjang. Kecewa, bukan dari dia. Ringtone-nya berbunyi lagi. “Ukhti, Selamat hari lahir. Semoga hari-hari yang dijalani lebih memberi arti.” Sender : Ikhwan +628179823xxx Dia!Semburat jingga pagi jadi lebih indah berlipat kali. Senyumnya mengembang lagi. Dan bunga-bunga itu mekar-lah pula. Cerita di atas tadi selurik gerak hati seorang akhwat di negeri antah berantah yang sangat dekat dengan kita. Gerak hati yang mungkin pernah bersemayam di dada kita juga. Bisa jadi kita mengangguk-angguk tertawa kecil atau berceletuk pelan, “Seperti aku nih,” saat membacanya. Hayo… ngaku! He he… Mari kita cermati fragmen terakhir dari cerita tadi. Kalimat sms keduanya persis sama, yang intinya mengucapkan dan mendoakan atas hari lahir (mungkin mencontek dari sumber yang sama hehe…). Sms sama tapi berhasil menimbulkan rasa yang jelas berbeda. Karena memang ternyata lebih berarti bagi si akhwat adalah pengirimnya, bukan apa yang dikatakannya. Namun sebenarnya, apakah Allah membedakan doa laki-laki dan perempuan? Mengapa menjadi lebih bahagia saat si Gagah yang mendoakan? Semoga selain mengangguk-angguk dan tertawa kecil, kita juga berani memandang dari sudut pandang orang ketiga. Dengan memandang tanpa melibatkan rasa (atau nafsu?), kita akan bisa berpikir dengan cita rasa lebih bermakna. Konon, cerita tadi terus berlanjut. Suatu hari yang cerah, sang akhwat mendapat kiriman dari si ikhwan itu. Sebuah kartu biru yang sangat cantik. Tapi sayang, isinya tidak secantik itu. Menghancurkan hati akhwat menjadi berkeping-keping tak berbentuk lagi. Kartu biru itu adalah kartu undangan pernikahan si ikhwan. Dengan akhwat lain, tentu saja. Berbagai Tanya ditelannya. Mengapa dia menikah dengan akhwat lain? Bukankah dia sering mengirim sms padaku? Bukankah dia sering me-miscall ku untuk qiyamull lail? Bukankah dia ingat hari lahirku? Bukankah dia suka padaku? Mengapa…mengapa… Dan air mata berjatuhan di atas bantal yang diam. Teman, jangan bilang, ya… dia hanya tidak tahu, ikhwan itu juga mengirimkan sms, miscall, mengucapkan selamat hari lahir dan bersikap yang sama ke berpuluh akhwat lainnya! Ironis. Sedih, tapi menggelikan, menggelikan tapi menyedihkan. Sekarang siapa yang bisa disalahkan? Akhwat memang seyogiyanya menyadari dari awal, sms-sms yang terasa indah itu bukan tanda ikatan yang punya kekuatan apa-apa. Siapa yang menjamin bahwa ikhwan itu ingin menikahinya? Bila ia berharap, maka harapanlah yang akan menyuarakan penderitaan itu lebih nyaring. Tetapi para ikhwan juga tak bisa lari dari tanggung jawab ini. Allau’alam apapun niatnya, semurni apapun itu, ingatlah, sms melibatkan dua orang, pengirim dan penerima. Putih si pengirim, tak menjamin putihnya juga si penerima. Bisa jadi ia akan berwarna merah muda. Merah muda di suatu tempat di hati atau menjadi rona di pipi yang tak akan bisa disembunyikan di depan Allah. Bagi perempuan, sms-sms dan bentuk perhatian sejenis dari laki-laki bisa menimbulkan rasa yang sama bentuknya dengan senyuman, kedipan menggoda, dan daya tarik fisik perempuan lainnya bagi laki-laki. Menimbulkan sensasi yang sama. Ketika perempuan bertanya berbagai masalah pribadinya padamu, seringkali bukan solusi yang ingin dicari utamanya. Melainkan dirimu. Ya, sebenarnya perempuan ingin tahu pendapatmu tentang dia, apakah dirimu memperhatikannya, bagaimana caramu memandang dirinya. Dirimu, dirimu, dan dirimu… dan kami –kaum hawa- sayangnya, juga memiliki percaya diri yang berlebihan, atau bisa dibahasakan lain dengan ‘mudah Ge-Er’. Jadi, tolong hati-hati dengan perhatianmu itu. Paling menyedihkan saat ada seorang aktivis yang tiba-tiba berkembang gerak dakwahnya atau semangat qiyamul lailnya karena terkait satu nama. Naudzubillah tsumma naudzubillah. Ketika kita menyandingkan niat tidak karena Allah semata, maka apalah harganya! Apa harganya berpeluh-payah bukan karena Dia, tapi karena dia. Seseorang yang sama sekali bukan apa-apa, lemah seperti manusia lainnya. Laki-laki dan wanita diciptakan berbeda bukan saling memusuhi, bukan juga saling bercampur tak bertepi, tapi semestinya saling menjaga diri. Secara fisik, emosional, atau kedua-duanya. SMS tampak aman dari pandangan orang lain, hubungan itu tak terlihat mata. Tapi wahai, syetan semakin menyukainya. Mereka berbaris di antara dua handphone itu. Maka dimanapun mereka berada, syaitan tetaplah musuh yang nyata! Wahai akhwat, bila kau menginginkan sms-sms itu, tengoklah inbox-mu. Bukankah disana tersusun dengan manis sms-sms dari saudarimu. Saudari-saudarimu yang dengan begitu banyak aktivitas, amanah, kelelahan, dan kesedihan yang sangat memerlukan perhatianmu. Juga begitu banyak teman-temanmu yang belum mengenal Islam menunggu kau bawakan sms-sms cahaya untuk mereka. Ada saatnya. Ya, ada saatnya nanti handphone kita dihiasi sms-sms romantis. Sms-sms yang walaupun hurufnya berwarna hitam semua, tapi tetap bernadakan merah muda. Untuk seseorang dan dari seseorang yang sudah dihalalkan kita berbagi hidup, dan segala kata cinta di alam semesta. Cinta yang bermuara pada penciptaNya. Cinta dalam Cinta. Bersabarlah untuk indah itu. “Ummi, abi lagi ngisi ta’lim di kampus pelangi. Di depan abi ada beribu bidadari-bidadari berjilbab rapi, tapi tak ada yang secantik bidadariku di istana Baiti Jannati. Miss u my sweety.” “Abi, yang teguh ya, pangeranku…rumah ini terasa gersang tanpa teduh wajahmu. Luv ya” Ya, hanya untuk dia kita tulis the Pinkest Short Massage Services. Sms-sms paling merah muda. )I( Published in Akhwat Modis Book,2005 )I( Nembak Duluan?1 komentarYang pasti-pasti aja! Ingat slogan iklan TV ini? Bukan untuk mempromosikan minuman produk Amerika yang membantu kaum zionis Israel itu, tapi dalam kalimat ini, saya sependapat. Betapa banyak hal di dunia ini yang tidak pasti dan sangat rawan untuk terus difikirkan. Angan-angan berpanjangan bisa meluap dari situ. Baik, langsung saya spesifikkan, misalnya dalam mencari pasangan hidup. Seorang perempuan yang sudah baligh sebenarnya adalah adalah kewajiban wali, orangtuanya lah untuk menikahkan dengan laki-laki yang sholeh. Alternatif lain, kumpulan orang-orang shaleh di sekitarnya bisa menggantikan peran itu. Tapi tidak selalu dua kondisi itu bisa digenapkan. Misalnya orangtua tidak bisa memutuskan mana laki-laki yang sholeh atau setelah sekian lama, belum ada ikhwan yang tergerak untuk melamarnya. Sedangkan urgensi menikah itu semakin kuat menelusup di celah di jiwa, kerinduan akan membangung keluarga Islami memuncak, ketakutan tergelincir pada kemaksiatan yang semakin membumbung atau kasus-kasus tertentu yang membuat pernikahan harus segera dilaksanakan. Kadang kata akhi Salim A fillah,dalam bukunya Agar Bidadari Cemburu Padamu, menawarkan diri bagi akhowat adalah pilihan yang agung. Menawarkan diri pada lelaki yang pasti. Pasti agamanya, pasti kualitas akhlaknya. Di sini yang tak pasti cuma satu,diterima atau tidak. Dan ditolak bukanlah kehinaan, hanya ladang kesabaran yang insyaAllah menjadi taman-taman berbunga cantik pahala. Daripada menunggu yang tak pasti, tak pasti agamanya ,tak pasti akhlaknya. Bahkan tak pasti pula datangnya. Memalukan! Tradisi mengajarkan kita demikian. Perempuan yang menawarkan diri untuk menikah pada laki-laki dianggap tidak tahu kesopanan. “Kaya ngga laku aja” atau “Kegatelan banget sih cewenya”. Komentar seperti itu sungguh kejam dan tidak adil. Apakah memalukan untuk menggenapkan setengah dien, separuh agama? Adakah dalam ingatan Anda, ibadah yang melebih setengah agama? Sementara perempuan yang berseliweran berboncengan, nonton berduaan, di café-cafe berpegangan tangan adalah hal yang dianggap hal biasa. Sudah jelas, kebenaran dan kemuliaan tidak terletak pada pendapat orang kebanyakan. Ada juga yang mengemas pemikiran kuno itu dengan bentuk yang tampaknya lebih elegan “ Kalau imannya kuat, pasti dia akan sabar menunggu ikhwan datang melamarnya” Hhh..saya hanya bisa menarik nafas panjang sambil menuturkan cerita ini. Anas ibnu Malik, Radhiyallahu ‘Anhu berkata: Ada seorang wanita yang datang kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam. Ia menawarkan dirinya kepada Rasulullah “Apakah engkau membutuhkan diriku?”. Anak perempuan Anas hadir dan mendengar kata-kata wanita itu, lalu berkata ”Alangkah memalukan dan betapa buruknya”. Mendengar itu, sang ayah (Anas ibnu Malik) menyahut ”Dia jauh lebih baik darimu nak. Wanita itu mencintai Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam dan menawarkan dirinya kepada beliau” (HR Al Bukhari). Dengarlah, dia jauh lebih baik dari kamu! Atau bahkan ada beberapa “oknum” ikhwan yang entah dari mana mendapat generalisir ini “Kami,para ikhwan, pada hakikatnya punya insting memburu, dan aneh sekali bila akhowat yang mendekati” Coba tengok lagi cerita tadi, adakah Rasul berkata “wahai wanita, aku seorang laki-laki, tidak pantas bagimu menawarkan diri”? Dan bisakah sekarang Anda menjawab, wahai lelaki, siapakah engkau dibanding Rasulullah?? Ohya, perlu sekali saya tekankan, saya tidak sedang bicara tentang “nembak” dengan senjara berlaras itu lho…Ngerti aja kan? Tapi juga bukan tentang “nembak” seperti yang muncul di reality show yang mengklaim dirinya reality show cinta pertama di Indonesia itu. Sungguh, bukan itu. Kalau nembak jenis itu sih, saya sangat berharap Anda sudah mengerti tentang ketidakbenarannya. Nembak yang mulia bukan aplikasi kreatif ketidaksabaran, kekonyolan dan maaf, agak tidak tahu malu terhadap pelanggaran perintah Allah seperti itu dan jauh sekali dengan ikatan suci pernikahan. Tapi sssttt, katanya rating acara itu selalu tinggi. Anda tidak termasuk salah satu yang menaikkannya kan? Ohya (lagi), saat perempuan mengajukan diri untuk menikah, itu juga harus melalui pertimbangan dan cara-cara yang mulia. Ga mungkin dong, ketemu di perempatan lalu langsung minta dinikahi? Hehehe.. Bisa dengan minta diwakilkan orangtua, atau lewat orang-orang sholeh yang bisa dipercaya. Dan sudah seharusnya ada musyawarah sebelumnya dengan mereka dalam hal pemilihan calon agar sisi subjektif dapat dikendalikan. Misalnya karena dilihat cakep, sarjana, mapan kerjanya, kita menjadi lupa pada sisi akhlaknya yang pas-pasan. Tidak salah sih bila menginginkan ikhwan ganteng, pinter dan sebagainya tapi pertimbangan agama dan akhlaknya haruslah yang utama. Hasan bin Ali berkata “ Nikahkan puterimu dengan orang yang bertakwa. Sebab bila ia mencintainya pasti akan menghormati dan memuliakannya dan bila ia tidak mencintainya pasti ia tidak akan menzhaliminya” Sambil berikhtiar, jangan lupa sholat Istikhoroh berulang kali. Petunjuk Allah adalah kemestian yang mesti dimohon selalu. Agar kita tidak menjadi hamba yang disindir Allah lewat ayat ini. …boleh jadi kamu tidak menyenangi sesuatu padahal itu baik bagimu dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu padahal itu tidak baik bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui (Al Baqarah :216) Kadang sebenarnya, bukan karena ketidaktahuan yang membuat para ikhwan melambatkan pernikahan. Tapi semata karena ketidakpedean terutama masalah mahar dan ma’isyah. Nah, akhowat yang seyogyanya juga ikut meyakinkan mereka bahwa Anda berani untuk menanggung bersama. Berani menjalani proses kehidupan apapun bentuknya. Kegembiraan, apalagi kesusahan. Anda berani, bukan? Ya, karena kadang ikhwan-ikhwan itu perlu dipecut agar tidak lagi menjadi pengecut. Agar mereka bertambah kuat iman kepada rezeki Robbnya dan tambah kreativitasnya. Pernikahan terbukti adalah salah satu bentuk media percepatan diri yang sangat efektif. Lalu, biarkan Allah membantu. Sudah ya, kita tutup dulu pembahasan ini. Sekarang waktunya menajamkan usaha memperbaiki diri dan memperkokoh niat. Memang perlu perjuangan untuk mengubah masyarakat dengan tradisi-tradisinya. Tapi setidaknya Anda tahu bahwa tradisi itu harus diubah. Dan Anda bisa memulainya lebih dahulu. Dalam suatu pertemuan, ada seorang teman berseloroh “ Jodoh itu di tangan Tuhan, tapi kalau tidak diambil-ambil, ya akan di tangan Tuhan terus” Hal itu tidak urun memancing tertawa teman-teman yang lain, termasuk saya juga. Tapi untuk anda, wahai perempuan, semoga kelakar tadi semakin menguatkan. *Published in Akhwat Modis Book, 2005*
di mana engkau, pangeranku?0 komentarSetelah sujud terakhir shalat malam yang panjang, Tunduk. Ada tetesan tak berbunyi bergulir di atas pipi. Kesunyian itu tiba-tiba datang lagi tanpa meminta izin lebih dahulu. Sebenarnya ada rasa malu mengakui, mengingat materi2 yang telah diterima setelah berdekatan dengan kajian Islam selama dua tahun. Bahkan sebagian sudah dinasehatkan kepada orang lain. "Muslimah itu harus berjiwa tegar, militan, jangan cengeng terhadap hal remeh". "Mengapa kader terbina masih mikirin soal cinta-mencinta, jodoh-menjodoh, bukan zamannya lagi!" Iya…iya..ngerti. Tapi, Ya Allah maafkan, aku tetap kesepian. Rindu dia pada yang belum diketahui namanya. Dia yang akan menggenapkan setengah dien bersama-sama. Dia yang akan dihormati, senyumi, cemberuti, dan dilembuti. Dia yang sepanjang perjalanannya akan saya temani. Hatiku menjerit pelan.."Di mana engkau pangeranku?" Allah, betapa ridho diri ini tunduk pada perintahMU, perintah menundukkan pandangan, perintah mengulurkan jilbab, perintah terus memperbaiki diri dari hari ke hari. Menanti janjiMu ádalah aliran air tersegar yang tak akan putus. "..Dan wanita2 yang baik ádalah untuk laki2 yang baik dan laki2 yang baik ádalah untuk wanita2 yang baik pula " (An Nuur:26) Tetapi, bolehkah hamba bercerita pada MU wahai Rabb? Bahwa hati ini begitu cepat terbolak-balik. Kadang ia kuat bak benteng kokoh, tapi sering pula ia rapuh bak rumah kardus di bawah kolong jembatan. Dan syaitan tahu itu, Ya Allah. Mereka begitu senagnya berlomba menggoda. Sehingga dalam penantian yang panjang ini, terselip pandangan yang belum halal, ada perkataan yang belum halal, ada usaha mencari perhatian yang belum halal. Ahh..., Kau tahu lebih dari yang hamba ceritakan. Allah, betapa takutnya hamba membuat Kau cemburu. Allah hamba tak mengerti, mengapa tak ada gerak dalam hati mereka untuk tidak terus memanjai angan2? Apakah terlalu berat ya Allah bagi mereka untuk mengambil kenikmatan yang Engkau janjikan? "Tak cukup mapan, masih kuliah, belum dapat izin orang tua" Alasan2 seperti itu apakah Kau bisa terima? Sementara seorang Sugiarto, nama lengkap Ato, seorang pembelajar sejati, sahabat kesayangan Aa Gym yang ditakdirkan bertubuh tidak lengkap. Lelaki yang berjalan terseok-seok hanya bertumpu dengan kakinya yang kecil. Lelaki yang harus bersusah payah untuk mengucapkan kata per kata itu berani mengambil keputusan. "Belhalap pa..da Allah sa…ja," ujarnya terbata2. Dan Allah memudahkan bagi mereka yang hanya memercayakan semua pada-Nya. Ato dan istrinya sekarang hidup tenang dalam kesahajaan dan mempunyai seorang anak, anak yang sehat! Sahabat, sesungguhnya cerita ini bukan untuk diri saya sendiri. Saat ini, di tengah malam ini, mari kita tengok ke jendela2 yang terbuka. Di atas ribuan sajadah, bersimpuh perempuan2 yang sedang merindu. Tetesan2 air mata mereka terus membasahi bumi, air mata mujahidah yang sangat takut tergelincir kepada kemaksiatan. Tak perih jua kah mereka melihatnya? Tak ada kah sepotong hati untuk meringankan beban itu? Dan sahabat, bila kau salah satu dari perempuan bersimpuh itu, sabarlah. Benar, tidak mudah. Tapi tidak ada yang salah dengan janji Nya. Janji Nya adalah keniscayaan terindah, walau itu harus kau tebus denagn kesabaran yang berdarah-darah. Jangan lelah muliakan dirimu. Bukan untuk dia. Juga bukan untuk dirimu sendiri. Tapi semata hanya untuk Rabb-Mu. Sungguh, itu bagian dari tarbiyah dengan cara yang berbeda. Dan Maha benar Allah, lelaki mulia itu akan datang atas nama kemuliaan pernikahan. Tanpa kau perlu teriaki, dia telah mendengar dengan kesediaan tertinggi akan seruan lembut Tuhan-Nya, yang disampaikan kepada hamba terkasih dan utusan-Nya. *Published in Akhwat Modis Book,2005* Untuk Apa Sekolah? (Renungan Di Hardiknas)0 komentar
Dialog Anak dan Ibu I
"Ma, Andi pengen uang banyak," celoteh seorang anak suatu hari pada ibunya. " Berarti, Andi harus sekolah, terus dapat kerja, dapat uang yang banyak deh," jawab ibunya ringan. Dialog Anak dan Ibu II "Bunda, Mira ingin kuliah," dengan wajah penuh harap, seorang gadis berkata dengan nada merayu. "Ibunya menjawab sambil mengibaskan tangannya. "Buat apa sekolah tinggi-tinggi, lihat tuh tetangga kita, capek-capek kuliah akhirnya cuma di dapur. Ngga penting sekolah, yang penting bisa cari duit!" Beginilah dialog yang terjadi di banyak rumah di negara kita. Lebih menyedihkan, kedua fragmen di atas adalah bagian keseharian kita yang sudah dianggap sangat biasa. Cermatilah dan bisa kita tarik garis dogmanya, sekolah untuk kaya dan bila tidak kaya sekolah adalah kesia-siaan belaka. Begitu, kan? Bisa jadi kita tersentak sesaat, paradigma seperti itu ternyata juga sudah lama mengendap di otak kita. Tak heran, wajah buram pendidikan Indonesia yang masih akan buram karena anggaran pendidikan seebsar 20 persen dari APBN begitu berat untuk dikabulkan, terus berlanjut. Pelajar yang merasa bakal sulit dapat kerja setelah lulus akhirnya sekolah malas-malasan. Atau pilihan lain, mereka berduyun-duyun mengikuti kontes dangdut yang menawarkan imbalan besar secara instan daripada berlama-lama kuliah di universitas. Begitu pula masyarakat, saat ada sarjana yang rela mengajari anak-anak pedalaman atau hanya mengurus keluarga agar menjadi keluarga berakhlak baik, tapi tidak mempunyai pekerjaan tetap di kantoran dianggap gagal. Karena, motivasi pendidikan hanya itu. Sebatas nilai rupiah. Hal inilah yang kita sadari atau tidak sudah diakarkan kuat-kuat oleh lingkungan, negara dan masyarakat dunia yang sudah tercelup oleh warna kapitalisme. Suatu parameter yang lemah, tidak kekal dan tidak bermanfaat besar untuk siapa-siapa. Penguasa sebenarnya sangat mendapat poin strategis dalam hal ini. Kalau boleh dibilang dengan kalimat yang lebih lugas, mereka yang harus bertanggungjawab untuk mengalihkan pendidikan money oriented yang kita alami selama ini. Dengan dipenuhinya sarana pendidikan, perbaikan sistem dan penghargaan yang tinggi kepada pendidik akan sangat berdampak pada kualitas keluarannya. Contohnya, kurikulum pendidikan yang terlalu teoritis, penuh hafalan dan kesimpulan berperan melahirkan pengangguran tanpa keterampilan post sekolah. Atau pendidikan yang dibawakan dalam suasana materialistis akan membentuk generasi lembek tidak berenergi, hobi mengutamakan kepentingan dirinya sendiri, dan hanya mampu mengukur segalanya dari keuntungan materi. Untuk memperbaikinya, tentu tidak lain posisi penguasa (pemerintah) ini harus diiisi oleh orang soleh yang faham benar bagaimana menghargai pendidikan. Orang adil dan amanah yang berwenang mengeluarkan kebijakan yang betul-betul bijak, bisa kita munculkan melalui partai politik. Kita dapat berpartisipasi untuk memilih mereka. Jadi, jangan alergi pada parpol. Semoga tulisan ini tidak terlalu menghakimi, tetapi diharapkan menjadi sedikit inspirasi untuk melihat ilmu dengan cara pandang baru. Ilmu terlalu tinggi harganya kalau hanya dinilai dari kacamata uang dan dunia. Kalau ada keuntungan ekonomi berdasarkan kapasitas ilmu, tentu saja itu efek samping yang berhak kita terima. Tapi sekali lagi, terlalu dangkal bila itu sudah menjadi tujuan dan arah. Dialog Anak dan Anda "Nak, mau kuliah di mana?" Anda bertanya. "Ah buat apa kuliah, belum tentu jadi kaya," jawab anak Anda dengan maalas. "Sekolah tinggi bukan untuk kaya. Ilmu itu untuk mengangkat derajatmu di sisi Allah, dan agar kau menjadi manusia yang paling bermanfaat untuk manusia lain. Untuk kekayaan yang sesungguhnya, anakku," jawab Anda. Tapi, izinkan saya bertanya: "Begitukah jawaban Anda?" *Published in Banjarmasin Post, 2 Mei 2006* Sepenggal Cerita Biasa0 komentarOleh : Martina RahmiLANGIT malam diukiri goresan kilat dan angin dingin, memberitakan hujan akan segera menyapa. Gara duduk meringkuk di sudut dinding kayu yang telah lapuk mencari sedikit kehangatan dari tubuhnya sendiri. Bila malam dan hujan, ia punya alasan pada dunia untuk tidak membentang tubuh kecilnya di jalanan terik berdebu. Dengan begitu, berarti perutnya malam ini akan kosong tak terisi. Sudah biasa, kekosongan adalah karibnya. Di sisinya tergolek tubuh kurus lemah tak berdaya. Tangan dan kaki kecilnya tersusun dari tulang-tulang menonjol yang hanya terbungkus kulit. Tak bisa bergerak bila tidak digerakkan. Bagian tubuh yang paling besar hanyalah kepalanya, tapi kepala itu pun tidak dapat digunakan selain untuk menggeleng dan mengangguk. Dadanya naik turun dengan berat, terlihat berusaha menarik nafas semampunya. Gara menatap lekat pada Abas, adiknya. Menatap satu-satunya sahabatnya itu dengan sedih. Mendengar cerita lelahnya menjual koran seharian, dukanya saat pemalak merampas semua uangnya. Abas mendengarkan segalanya walau cuma bisa mengerjapkan sinar mata. Tapi setidaknya Gara tahu, dia tidak sendirian. Entah apa penyakit Abas, Gara tak mengerti. Kata Pak Mantri yang dulu berbaik hati pernah singgah, Abas mengidap penyakit kekurangan makanan yang parah. Dia harus segera dibawa ke rumah sakit, tapi tak mungkin karena tak ada biaya. Tak boleh mengeluh. Kalimat itu berulang kali dihantamkannya ke dada agar kekuatan menelikung, menopang jiwanya, mempertahankan semangat hidupnya. Untuk dia, dan untuk adiknya. Gara tahu, mengeluh pun tak akan mengubah apa-apa. Dia harus bersyukur saat budhe berkenan memberi tumpangan sepetak atap bernaung. Tak perlu menangis atau merengek walau budhe tak pernah memberi makan cukup kepadanya dan adiknya. "Setidaknya, budhe lebih baik dari ibu" batin Gara berbicara. Ibu yang membawa mereka dari kampung dan meninggalkan dengan paksa di rumah budhe begitu saja. Kata orang-orang, ibunya tidak punya uang untuk mengasuh anak-anaknya, terlebih saat suaminya meninggalkan tanpa kabar. Apakah Gara rindu ibu dan bapaknya? Entahlah. Gara merasa tidak perlu merindukan siapa-siapa karena saat kerinduan mencabik, mereka juga tak akan datang. Gara memahami tak mudah mencari uang, bagaimana lelahnya mencari rupiah demi rupiah di antara bus-bus, di sudut-sudut jalan, di perempatan padat lampu merah. Jadi tak ada kesal saat budhe yang hanya bekerja sebagai tukang cuci itu tidak pernah memberinya nasi. Budhe juga punya anak kecil yang harus dirawat. Tak boleh ada iri saat melihat sepupu-sepupunya melahap susu dengan nikmat walau ingin sekali rasanya Gara mencicipkan susu itu ke Abas. Tapi cukuplah air tajin untuk Abas. Anggaplah seperti susu putih, Abas juga tidak tahu bagaimana rasanya susu. Getir. Gara menunduk dan berbisik lirih di telinga adiknya, "Bila kamu sembuh, aku berjanji kita akan jalan-jalan sepuasmu sambil bawa kerenceng tutup botol yang dibuatkan Mang Dodon. Kita bisa bernyanyi, tertawa bersama di dalam bus atau di depan kaca mobil-mobil mewah itu. Kau suka menyanyi, bukan?" Abas tetap tak bergerak. Tapi sudut bibirnya yang tertarik lebar dan matanya bersinar-sinarnya saja berbicara. Hanya Tuhan yang mengerti percakapan dua jiwa itu. *** "Gar, di halaman rumah Haji Abu ada pembagian beras murah, ‘Ncing elo tau ga?" Suara keras Iyong menghentak Gara. Beras murah? Otak gara serasa berlari lebih cepat dari biasanya. Bila kubeli beras itu, mungkin budhe mau menukarnya dengan segelas susu. Abas pasti akan senang sekali. Asyik! Gara melompat bahagia. Dia bahagia sekali dengan pemikirannya itu, seolah telah mendapat harta karun yang tak bernilai. Siang itu ditelannya. Matahari yang menyengat tak mampu mengejeknya. Aku harus dapat uang hari ini! Semangatnya berkobar-berkobar mengingat adiknya. Dibawanya kotak semir sepatu itu ke pertokoan mewah. Dia terus berjalan menawarkan semirannya, tak ia perdulikan sandal tipis yang semakin tipis, wajah-wajah keras yang menghina atau kibasan tangan yang mengusirnya. Dan sunggingan senyum pun terlintas setelah beberapa recehan rupiah bergerincing di kotaknya. Digenggamnya uang itu erat-erat. *** Halaman haji Abu sudah dikerumuni banyak orang ketika ia datang. Dengan menyelipkan tubuh ringkihnya sekuat tenaga, akhirnya dia dapat membeli satu tas kresek beras. Segera setelah melepaskan desakan dari gerobolan itu, dia langsung melangkah pulang ke rumah. Entah mengapa siang yang panas tiba-tiba berubah menjadi titik-titik air yang semakin banyak dan besar. Gara berlari secepatnya, dimasukkanya beras itu ke dalam baju kaos putihnya yang tipis dan kian transparan terkena basah hujan. Sandalnya yang putus pun tak dipedulikanya. Langkah-langkah kecil tak beralas itu terus melawan tapak tanah yang keras di bawah guyuran hujan. Memprihatinkan. Tapi tidak bagi Gara. Dia tersenyum paling bahagia dalam hidupnya. Senyum seorang pahlawan yang telah memenangkan perang. Sampai di depan rumah budhe, dilihatnya beberapa orang berkumpul. Budhe menyongsongnya dengan muka gusar " Gar, cepat ke pasar, beli kain". Gara berkerinyit. "Kain apa?" Mpok Rohida, tetangga sebelah rumah menepuk pundak Gara pelan ‘Kain kafan Gar, Adik elu meninggal tadi. Ga tau kenapa dia kena bengek parah banget ". Gara nanar. Tahukah siapa yang mereka sedang bicarakan? Mereka sedang bicara tentang adiknya. Satu-satunya penghibur laranya. Satu-satunya sumber sinarnya! "Abas..bangun Bas..! Mengapa kau tidak membuka mata? Bukankah kau berjanji bernyanyi denganku? Bangun, bas! Kau mau minum susu? Kau belum tau enaknya susu,bukan? Bangun Bas!" Airmata berjatuhan bercampur basah air hujan di pipinya. Gara mengguncangkan bahu adiknya dengan isak dan kemarahan. Marahnya pada budhe, tetangga, dirinya sendiri, pada Abas. Kepada semuanya. Sementara di luar deras hujan terus menghunjam dan diam. Seolah tak peduli apapun yang terjadi di bumi. *Published In Banjarmasin Post, 4 Desember 2007* Di sinilah ketenangan itu..0 komentar Tuesday, October 27, 2009
Totto Chan heran. Belum pernah dia mendengar ada orang berkata anak laki-laki harus menghargai anak perempuan. Setahunya anak laki-lakilah yang terpenting.
Dalam keluarga yang dia tahu anaknya banyak, anak laki-laki selalu dilayani lebih dahulu waktu makan dan saat minum teh sore. Kalau anak perempuan memprotes, ibu mereka akan berkata: “Anak perempuan hanya untuk dipandang, bukan untuk didengar!” Keheranan Toto Chan dalam buku yang ditulis Tetsuko Kuroyanagi itu menggambarkan suasana riil Jepang pada 1940-an. Coretan sejarah di mana perempuan dimarginalkan dengan sangat parah. Kiranya, trauma diskriminasi itu masih tertoreh di lembaran kekinian negara kita. Orang-orang berbicara mengenai menyatukan perempuan dalam pembangunan yang disebut dengan pendekatan perempuan di dalam pembangunan (women in development), yang bertujuan memenuhi kebutuhan perempuan dan menggunakan kemampuan dan keahlian tradisional perempuan untuk mencapai tujuan pembangunan. Namun ditemukan bahwa kebijakan dan programnya sebatas tertuju kepada subordinasi dan area penindasan perempuan, tidak mempertanyakan pemikiran dan program pembangunan. Perencana mengasumsikan, bahwa program pembangunan secara otomatis akan menguntungkan semua anggota masyarakat. Tetapi asumsi itu tampak tidak valid hampir di setiap tempat. Perempuan dianggap sebagai kaum terbelakang, kaum tertindas dan objek dari suatu pelaksanaan pembangunan. Perempuan lebih sering dijadikan sebagai pelengkap. Dengan demikian ketika terdapat subjek yang memang pas, cocok, maka tidak heran yang berstatus sebagai pelengkap tidak diperhitungkan eksistensinya. “Sesungguhnya perempuan adalah belahan tak terpisahkan dari lelaki.” (HR Ahmad dan Al baihaqi) Allah mengangkat dan menjadikan kaum perempuan setingkat kaum pria, karena itu keduanya memiliki identifikasi dalam kelahirannya. Adanya spesialisasi kodrat antara kaum perempuan dengan laki-laki, bukanlah sebentuk diskriminasi syariat Islam terhadap perempuan. Adanya perbedaan itulah, keduanya akan saling melengkapi dalam tanggung jawab mewujudkan tujuan luhurnya agar mereka rida terhadap apa yang telah ditetapkan Allah SWT. Sebagaimana firman Nya “Janganlah kalian iri hati dengan apa yang dikaruniakan Allah kepada sebagian kalian lebih banyak dari sebagian yang lain, (karena) bagi laki-laki ada bagian yang mereka usahakan dan bagi perempuan pun ada bagian dari apa yang mereka usahakan.” (QS An Nisa:3). Itulah kesetaraan terindah, kebersamaan paling tenang. Kebersamaan dalam kesalihan. Siapakah yang menafikan itu? Apakah mereka yang menyanjung perempuan, mengangkatnya sampai langit, pujian tanpa makna sekadar untuk memanfaatkan kecenderungan perempuan yang perlu ungkapan mesra? Sungguh berkilau dan menyilaukan istilah yang mereka sebut feminisme itu. Tetapi bahkan Kartini, yang didaulat --entah oleh siapa-- sebagai ‘ratu emansipasi’ sadar dalam kecerdasannya bahwa ada yang perlu diluruskan seperti suratnya kepada Ny abendanon, 27 oktober 1902. Surat itu menyatakan: Sudah lewat masanya. Tadinya kami mengira bahwa masyarakat Eropa itu benar-benar satu-satunya yang paling baik, yang tiada taranya. Maafkan kami, tetapi apakah ibu sendiri menganggap masyarakat Eropa itu sempurna? Dapatkah ibu menyangkal bahwa di balik hal yang baik dan indah dalam masyarakat ibu terdapat banyak hal yang sama sekali tidak patut disebut peradaban? Di manakah muslimah diperkenankan berkiprah? Perempuan bukan makhluk pingitan. Risalah Islam turun untuk meluruskan dua kutub ekstrem menyikapi perempuan. Menisbahkan perempuan sebagai sosok yang bisa dinikmati oleh pandangan syahwat lelaki di mana pun dan kapan pun, adalah kezaliman terhadap mereka. Sebagaimana memagari mereka di sudut ruangan yang sempit, tidak mengizinkannya keluar dan berpartisipasi dalam kehidupan publik sedikit pun. Itu juga kezaliman di sisi lain. Deretan shahabiyah seperti Syifa binti Abdullah yang berperan sebagai dokter, Ummul Ala sebagai perawat, Ummu Mubasyisyir al Anshariyyah yang seorang petani sukses dengan kebun kurmanya yang luas, Khadijah binti Khuwailid, seorang niagawati internasional cukuplah bukti untuk kita dari belasan abad lalu bahwa perempuan mempunyai potensi yang tak layak diredam. Ustad HM Anis Matta cukup utuh mendeskripsikan arti perempuan berikut: Dalam pola kehidupan nomaden, perempuan adalah bunga di tengah hutan belantara. Tapi dalam pola kehidupan kota, perempuan adalah bunga di tengah taman. Peradaban kita menjadi indah ketika kita berempu pada perempuan. Sebab perempuan, seperti kata HAMKA adalah per-empu-an peradaban atau tempat bersandar. Perempuan seperti kata Alquran, adalah tempat kita menemukan ketenangan. *Published in Banjarmasin Post, 4 september 2009 MONOLOG* DUA LAUT0 komentarMonolog nomor satu.
Salam…hoahhhmmm…alhamdulil Perkenalkan, namaku Galilea. Tapi mugkin banyak dari kalian tidak perduli akan nama ini...Siapa sih yang mau memusingkan kepala dengan mengingat nama laut? Ya, aku seorang laut. Atau sebuah laut? Dari dulu aku tidak pernah bisa memutuskannya… Tapi nama sangat penting menurutku sebagai simbolisasi agar komunikasi kita semakin cantik. Galilea sudah sangat menggambarkan diriku dan sinar kebahagiaan di sekitarku. Seperti bahagiaku memiliki seorang sahabat baik bernama Sungai Yordan… biar kuberitahu betapa tampannya dia: Airnya tenang, jernih dan begitu indah berkilauan. Dia suka tertawa kalau tertimpa sinar matahari. Hampir setiap sore dia mengunjungiku ditemani pengawalnya yang setia, Angin selatan. Kami sering menghabiskan senja yang indah sambil saling bercerita dan menyantap manisan arbei. Walau sungai Yordan adalah teman terbaikku..tapi aku punya sahabat-sahabat lain. Seperti pohon-pohon arbei yang ranum buahnya, yang menyediakan berapa saja buah yang kami inginkan berjejer di dekat Yordan. Atau burung Ibis berkepala botak yang dulu dipuja firaun…Burung-burung botak lucu itu berkecipak tak ragu dan membangun sarang-sarangya di pohon-pohon kurma nan megah. Setiap malam dia membawa teman burung yang berbeda. Kadang yang tampak perkasa, si Golden Aagle ikut mengintip-intip tapi terlalu angkuh untuk ikut bermain. Pemandangai yang ramai. Orang-orang juga banyak membangun rumah di sekitarku…ada pemuda Ali..seorang pembuat perahu yang selalu tampak sehat dan ceria. Ada Bibi fatimah yang suka memandikan buah hatinya,Rajbi di tepian sungai Yordan. Nah itu mereka berlari-lari ke pantai putihku! Sudah dulu ya, aku mau bermain bersama mereka. *** Monolog nomor dua Huh! Siapa pagi-pagi ini yang membangunkanku?! Okey…okey… selamat pagi…atau selamat malam.. Siapa peduli? Kalau kau mau tahu siapa aku, (sayangnya) aku adalah laut. Kau mau tahu namaku? Ah, itu sangat tidak penting. Kau juga mau tahu kehidupanku? Apa yang bisa kuceritakan dari kehidupanku yang bisa membosankan ini. Kehidupan membosankan sedunia dengan pekerjaan membosankan sedunia. Tiap hari hanya diam menunggu dan menunggu sesuatu yang bahkan tidak kuketahui apa itu. Kalau mau jujur, inilah yg kurasa: SEPI dengan huruf besar. Kurasa Aku adalah laut yang paling sendiri di seluruh bumi ini. Tak ada yang berkicauan di sekitarku, tak ada daun-daun hijau yang melambai, tak ada yang berkeriapan, tak ada tawaria anak-anak. Para pelancong sering memilih jalur pelayaran lain, kecuali kalau urusannya mendesak. Udara di atasku terasa berat dan hampa. Kelam dan hitam. Sungai Yordan memang sering berkunjung ke kediaman dinginku.. tapi dia selalu datang dengan wajah tololnya itu..wajah yang paling kubenci : Wajah bahagia. Wajah yang selalu berhasil memberi eksistensi pada kesedihanku. Dia sering mengundangku untuk bertamu ke rumah-rumah di samping sungainya, ke ladang teman-temannya yang sedang kekeringan...Katanya mereka sangat memerlukan airku untuk panen kali ini. Tapi apa peduliku? Bukankah kita sudah masing-masing diberi jatah oleh Tuhan..Kalau energi yang diberi padaku lebih banyak, bukan salahku kan? Mereka hanya terlalu malas besusah-payah menimba sumur. Lalu kuusir Sungai Yordan pelan-pelan…takut dia akan menghabiskan seluruh biskuitku. Yordan pun pergi dengan hanya mengedikkan bahu. Fiuhh..Sekarang saatnya menarik selimut lagi dan tidur dalam mimpi-mimpi indahku..Semoga tak ada yang mengetuk pintuku lagi. *** Aku tertegun mendengar monolog dua laut Palestina itu. Sangat mengesankan tapi membingungkan. Terlalu absurd. Apa sebenarnya yang membuat perbedaan besar di antara ke dua laut yang berdekatan ini? Apakah sungai Yordan? Bukan, bukan sungai Yordan. Sungai Yordan mengalirkan air yang sama baiknya ke dalam ke dua laut ini. Tanah? bukan pula kurasa, bukan negara di mana kedua laut ini berada. Inilah bedanya.. Laut Galilea menerima tetapi tidak menahan air dari Sungai Yordan. Untuk setiap tetes yang mengalir ke dalamnya, ada setetes yang mengalir ke luar darinya. Galile menerima..tapi juga memberi.. sedang Laut yang satunya lebih cerdik, menimbun pemasukannya dengan serakah. Laut ini takkan tergoda oleh dorongan untuk bermurah hati. Setiap tetes yang diterimanya, hanya ditahannya. Laut Galilea memberi dan hidup. Laut yang satunya tidak memberi apa-apa. Karena itulah kita sebut ia Laut Mati. Ah,sebenarnya sangat jelas, jelas sekali… Ada dua tipe manusia di dunia. Ada dua laut di palestina**. *** *Monolog: suatu ilmu terapan yang mengajarkan tentang seni peran di mana hanya dibutuhkan satu orang atau dialog bisu untuk melakukan adegan **Terinspirasi oleh salah satu tulisan di buku the 7 habits of highly effective teens, karya Sean Covey published in Banjarmasin Post, Juli 2009 DI TEPI SUNGAI RHEIN0 komentarSebuah perahu mengalir Mengikuti air Menguatkan dirinya terus menopang manusia yang juga renta di dalamnya Kau di sampingku ketika ku harumi bunga mawar di tepi sungai Rhein Kau mengernyit “Mengapa dunia penuh darah? Mengapa selalu saja ada riak berontak?” Sahabat, ketika diam bearti kematian Tak sempat lagi kita bertanya apakah peluru menyakitkan Ketika Iman harus diserahkan dengan tebusan perdamaian, Bukankah itu suatu kehinaan? Tak ada yang suka duka Tak ada yang suka air mata Namun jika bagi dunia tertawa berarti menyerahkan bangsanya Itu kegilaan yang nyata! Kau benar, Nampak Indah sungai Rhein yang tenang Tapi kurindui deburan ombak putih yang memecah karang *Untuk Dunia yang sunyi dalam jeritan dan desingan**Published In Annida, lupa tanggal dan tahunnya:)Jalan sunyi0 komentar Sunday, October 25, 2009Jalan menuju Tuhan acap kali asing di mata kita kalaupun bukan kita salah pahamkan. Para pejalan yang melintasinya akan menemukan kesunyian, tercampak dari orang ramai meskipun sang pejalan tak lelah-lelahnya bersikeras merengkuh mereka.1 Sholat kali ini adalah ke sekian kalinya aku akhiri dengan tundukan terdalam. Mencoba mengurai benang-benang kenangan yang tampaknya sudah kusut. Mencari secuil harapan, semoga kutemukan simpul untuk membantu menguatkan. Mengapa setiap waktu tidak pernah sama? Ada saja yang menghilang tercecer tanpa tersadari. Mana semangat itu? Kemana aku harus memintanya? ![]() Kemudian setelah beberapa lama, kulihat ke belakang tapak-tapak yang telah kulalui. Ya Tuhan, tak ada yang berubah atau perubahan itu begitu samar sehingga tak nampak di mata siapa saja. Tak ada yang peduli, apalagi menyalakan sumbu lentera di rumahnya. Aku terengah-engah menggenggam nafas satu demi satu. Penat. Berairmata. Apakah ini sia-sia? Maka kumohon, izinkan aku bersandar sebentar di pohon plum tua ini. Biarkan dulu aku sembunyi.. Aku masih terlalu takut untuk bermimpi lagi. Dan di mana mereka? Mereka yang dulu selalu menawarkan bunga. Yang membawakanku manisan Cherry sambil bercerita tentang kisah-kisah persaudaraan yang menakjubkan. Saat itu aku begitu percaya. Entah sekarang, kukira aku perlu memikirkannya lagi. Atau apakah karena mereka menganggap aku sudah punya sayap sehingga tak memerlukan siapapun lagi? Seandainya mereka tahu, ingin kubisikkan, sayap ini tak selalu sempurna, ada luka-luka di setiap sudutnya. Seandainya mereka bisa merasakan, tidak hanya memerlukan sayap untuk terbang tinggi, tapi juga hati. Beginikah memang suratannya, bahwa di sini tak ada hingar bingar menggempitakan telinga. Bahwa aku harus kuat melebihi kekuatanku sendiri sehingga aku tak boleh meminta pada manusia. Hanya memberi,memberi dan memberi . Beginikah wahai Allah, rasanya jalan menuju surga-Mu? Bila benar, aku mohon tunjuki pada arah jalan-Mu. Biarkan aku untuk menjadi bagian yang menegakkannya, seletih apapun itu. Jangan biarkan gerak-gerak kecewa hembusan syaitan meluluhlantakkan secabik iman. Kuatkan aku untuk terus berjalan dengan telapak berdarah, namun dengan mata terbuka agar bisa selalu kulihat di depanku keindahan kasih sayang-Mu. Pada tiap tetes duka, tiap sayat rindu, tiap lara sendu, tiap perih sepi, aku tahu Engkau punya segala jawabnya. Maka ajarilah aku untuk mengerti bahasa-Mu. Bila untuk memenangkan cahaya-Mu, aku harus menjadi orang yang terasing dalam kedinginan salju beku, biarlah begitu. Bila nanti ada saatnya akan hanya ada satu orang yang bertahan dalam kesendirian menekuri kalimat-Mu, bersabar di kesepian jalan Mu ketika dunia menganggap ia dan mimpinya adalah pasangan gila sejati, maka izinkanlah itu aku. Dan tolong sampaikan duhai Robb yang menguasai hamba-hambaNya, salamku kepada musafir-musafir pejuang agama-Mu yang bergerak dengan sunyi, yang beramal dengan sepi, yang kokoh dalam hancurnya hati, yang terus memberi tanpa henti. Merekalah manusia-manusia terpilih yang tak kan Kau biarkan sendiri. Laa takhaf wa laa tahzan! Jangan takut dan jangan bersedih. Sungguh, ada Allah, kepadanya kita berharap dan Dialah sahabat yang selalu dekat. Sekeping hati dibawa berlari Jauh melalui jalan yang sepi Jalan kebenaran indah terbentang Di depan matamu para pejuang 2 ***
-----------------------------------------------------by.Martina Rahmi u can also find this is written in my book: ![]() Aca ca fighting0 komentar Thursday, January 4, 2007
ACA CA FIGHTING!
:Martina Rahmi: Tak ada manusia yang bisa menahan laju umurnya. Dikehendaki atau tidak, kehidupan terus berlangsung menambah beban hari dalam perjalanannya. Bayi menjadi anak kecil, anak kecil menjadi remaja, remaja menjadi dewasa, dewasa menjadi tua dan seterusnya. Juga ketika harus menyandang gelar manusia bergolongan pemuda, itu juga bukan pilihan. Suatu saat tiba-tiba saja kita tersadar bahwa kita sudah menjadi pemuda. Dan menjadi pemuda adalah suatu yang berat bila dapat difahami bahwa pemuda tidak hanya berdefinisi umur sekian sampai sekian, namun terutama adalah karena tugas-tugas di bahunya. Ada yang sudah dari jauh hari menyiapkan diri untuk menyambut kedatangannya. Mereka dari dini sudah menambah ilmu dan informasi, mengikuti kajian-kajian, belajar mengambil tanggung jawab dan mulai memberanikan diri keluar dari “comfort zone” atau Zona nyaman mereka selama ini. Mereka sudah bersiap-siap hidup bukan untuk kesenangan pribadi mereka semata. Jenis pemuda seperti ini tidak akan terkejut banyak lagi setelah menapaki usia pemuda sesungguhnya. Sebaliknya, mereka bahkan sudah matang untuk berdaya guna bagi diri mereka sendiri dan orang lain. Namun tidak bisa dinafikan, begitu banyak yang menanggung nama pemuda tanpa diiringi kesiapan melaksanakan konsekuensinya. Usia mereka mendahului kedewasaan mereka, atau lebih tepatnya kedewasaan mereka jauh tertinggal di belakang usia mereka. Jiwa dan sikapnya masih dicoraki dominan oleh kemanjaan anak kecil walau dalam bentuk yang berbeda. Masih saja menuntut hak tanpa ingat kewajiban, masih saja suka mengutuki keadaan tanpa ada usaha mengubahnya, masih terlena oleh kemudahan-kemudahan yang diberikan oleh orang lain, tidak ada kreatifitas dan inovasi berdikari, masih ingin selalu dibenarkan alasan-alasan pembenaran dirinya dan masih berfikiran bahwa segala hal yang tidak menyangkut kepentingan pribadinya adalah sama sekali bukan urusannya. Pemuda seperti ini adalah jenis pemuda yang akan menarik selimut cepat-cepat dan menutupkan bantal kuat-kuat ke telinga ketika mendengar berita masalah-masalah di sekitarnya. Mereka ingin hidup tenang dengan ketidaktahuan dan ketidakperdulian itu. Maka bagaimanakan tugas pemuda sebagai agent of change (agen perubah) dilaksanakan bila pengembannya adalah manusia yang tidak mau tahu dan tak pernah merasa ada yang perlu diubah? Dan duhai, bangsa kita memiliki banyak mereka. Sesungguhnya, negara ini merindukan kaum pemuda yang cemas. Pemuda-pemuda yang cemas hatinya ketika menyaksikan arus keterbelakangan, kemiskinan, kenestapaan dan kerusakan sosial bangsanya. Sehingga, terpecut fikirannya untuk segera mencari konsep, jalan terbaik dan secepatnya bergerak menuju pintu keluar, sekecil apapun langkah yang bisa ia tempuh. Pemuda. Begitu banyak yang dimilikinya. Sigapnya jasad, segarnya otak, hormon-hormon yang masih bekerja aktif dan dinamitas yang dikaruniakan Allah adalah modal besar untuk pemuda. Namun sayang, tidak banyak yang bisa menggunakannya secara benar, apalagi optimal. Seperti narkoba dan free sex, begitu banyaknya yang berasal dari rasa keingintahuan. Tawuran dan perkelahian, begitu juga. Ia sering bentuk ekspresi dari keloyalan dan keaktifan. Sungguh, suatu potensi yang andai dikelola dengan benar, akan bisa menjadi kekuatan besar. Karakter seperti ini sebenarnya tidak terbentuk karena faktor pemuda sendiri saja. Namun lingkungan juga memiliki porsi besar dalam mewarnainya. Masyarakat masih sering berbicara bahwa “pemuda sukses adalah pemuda yang kaya” sehingga tidak sengaja tujuan hidup pemuda terarahkan kepada lembaran-lembaran uang semata. Minat ingin mengetahui, meneliti dan memberi tertutupi oleh kebutuhan-kebutuhan materi, sehingga ide-ide itu tersimpan mengeriput di ujung hati saja. Media massa juga adalah bagian khusus dari lingkungan yang ikut membantu kampanye sikap statis ini. Mereka lebih sering menceritakan keputusasaan akan masalah bangsa dan lebih suka menayangkan gambaran hidup penuh kesenangan yang sebenarnya hanya dimiliki segelintir orang. Sangat jarang sekali ditampilkan misalnya, tentang penghargaan bagi perjuangan seseorang yang begitu tabah dan tangguh dalam memperjuangkan kebaikan untuk masyarakat. Dan pemuda kita semakin meringkuklah, menjadi penentu bangsa tampak sangat jauh dari genggaman karena merasa tidak punya apa-apa dan tidak tahu ke mana. Sehingga, dipilihlah pilihan yang paling mudah: Menjadi orang biasa-biasa saja. Namun sejarah memperlihatkan ada pengecualian-pengecualian di setiap zaman. Al-Fatih Murad, seorang pemuda yang pada usianya baru 23 tahun telah dapat mewujudkan cita-cita bangsanya selama 8 abad: Pembebasan konstatinopel dari penjajahan Romawi. Imam Syahid Hasan Al-Banna, pada usia muda telah menjadi pembaharu yang begitu cemerlang di negaranya dan menjadi inspirasi bagi dunia. Dan dari negara kita sendiri, Jonathan, seorang pemuda yang mencengangkan tidak hanya bagi negara-negara lain, tapi bahkan bagi negaranya sendiri. Ia, seseorang yang berasal dari Negara penuh masalah, berhasil mendapat gelar tertinggi, The absolute winner Olimpiade Fisika yang diadakan di Singapura baru-baru ini. Apa yang membedakan mereka? Semangat. Semangat yang ditumbuhkan harapan demi harapan. Harapan akan perbaikan, harapan akan cita-cita tinggi, harapan akan perubahan. Mungkin kebanyakan orang sudah menganggap keadaan adalah kodrat yang tak bisa diubah, namun pemuda unggulan tidak berfikir menurut orang kebanyakan. Baginya, haram untuk kalah sebelum berjuang, kunci perubahan ada di tangan manusia dan ia dengan sigap mengambil peran di dalamnya. Dan sumber harapan dari segala harapan adalah Dia. Ya, dengan meyakini janji-janji-Nya, visi kehidupan akan menjadi jelas, lurus dan tidak gamang. Dia juga muara semangat yang airnya tak pernah habis. Karena ia tahu bahwa kewajibannya hanya berjuang, berhasil atau tidak, itu adalah sunatullah yang sama sekali bukan urusannya. Mungkin semangat bukan segalanya, namun ia bagian penting dari perjuangan. Seperti saya misalnya dalam hal tulis menulis. Sebenarnya banyak cara dalam menyelesaikan tulisan dengan konsisten, tapi bagi saya, saya harus menentukan judul lebih dahulu sebagai motor semangat, sehingga saya diarahkan untuk terus menulis. Tulisan ini terlalu muluk bila dibilang sebagai salah satu wacana solusi namun cukup bagi saya bila ada satu-dua hati tersentuh dan mulai berani menentukan “judul” perjuangannya masing-masing. Dan mari kita berseru bersama-sama Ji En, tokoh utama di serial Full House itu yang berusaha bertahan dalam kisruh rumah tangganya dengan kalimat ini: A ca ca Fighting! Bersemangat! ----- fin.lomb.pen.kep.nas:)----- NEMBAK DULUAN? Jangan Takut!2 komentar
“Yang pasti-pasti aja!”
Ingat slogan iklan TV ini? Bukan untuk mempromosikan minuman produk Amerika yang membantu kaum zionis Israel itu, tapi dalam kalimat ini, saya sependapat. Betapa banyak hal di dunia ini yang tidak pasti dan sangat rawan untuk terus difikirkan. Angan-angan berpanjangan bisa meluap dari situ. Baik, langsung saya spesifikkan, misalnya dalam mencari pasangan hidup. Seorang perempuan yang sudah baligh sebenarnya adalah adalah kewajiban wali, orangtuanya lah untuk menikahkan dengan laki-laki yang sholeh. Alternatif lain, kumpulan orang-orang shaleh di sekitarnya bisa menggantikan peran itu. Tapi tidak selalu dua kondisi itu bisa digenapkan. Misalnya orangtua tidak bisa memutuskan mana laki-laki yang sholeh atau setelah sekian lama, belum ada ikhwan yang tergerak untuk melamarnya. Sedangkan urgensi menikah itu semakin kuat menelusup di celah di jiwa, kerinduan akan membangung keluarga Islami memuncak, ketakutan tergelincir pada kemaksiatan yang semakin membumbung atau kasus-kasus tertentu yang membuat pernikahan harus segera dilaksanakan. Kadang kata akhi Salim A fillah,dalam bukunya Agar Bidadari Cemburu Padamu, menawarkan diri bagi akhowat adalah pilihan yang agung. Menawarkan diri pada lelaki yang pasti. Pasti agamanya, pasti kualitas akhlaknya. Di sini yang tak pasti cuma satu,diterima atau tidak. Dan ditolak bukanlah kehinaan, hanya ladang kesabaran yang insyaAllah menjadi taman-taman berbunga cantik pahala. Daripada menunggu yang tak pasti, tak pasti agamanya ,tak pasti akhlaknya. Bahkan tak pasti pula datangnya. Memalukan! Tradisi mengajarkan kita demikian. Perempuan yang menawarkan diri untuk menikah pada laki-laki dianggap tidak tahu kesopanan. “Kaya ngga laku aja” atau “Kegatelan banget sih cewenya”. Komentar seperti itu sungguh kejam dan tidak adil. Apakah memalukan untuk menggenapkan setengah dien, separuh agama? Adakah dalam ingatan Anda, ibadah yang melebih setengah agama? Sementara perempuan yang berseliweran berboncengan, nonton berduaan, di café-cafe berpegangan tangan adalah hal yang dianggap hal biasa. Sudah jelas, kebenaran dan kemuliaan tidak terletak pada pendapat orang kebanyakan. Ada juga yang mengemas pemikiran kuno itu dengan bentuk yang tampaknya lebih elegan “ Kalau imannya kuat, pasti dia akan sabar menunggu ikhwan datang melamarnya” Hhh..saya hanya bisa menarik nafas panjang sambil menuturkan cerita ini. Anas ibnu Malik, Radhiyallahu ‘Anhu berkata: Ada seorang wanita yang datang kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam. Ia menawarkan dirinya kepada Rasulullah “Apakah engkau membutuhkan diriku?”. Anak perempuan Anas hadir dan mendengar kata-kata wanita itu, lalu berkata ”Alangkah memalukan dan betapa buruknya”. Mendengar itu, sang ayah (Anas ibnu Malik) menyahut ”Dia jauh lebih baik darimu nak. Wanita itu mencintai Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam dan menawarkan dirinya kepada beliau” (HR Al Bukhari). Dengarlah, dia jauh lebih baik dari kamu! Atau bahkan ada beberapa “oknum” ikhwan yang entah dari mana mendapat generalisir ini “Kami,para ikhwan, pada hakikatnya punya insting memburu, dan aneh sekali bila akhowat yang mendekati” Coba tengok lagi cerita tadi, adakah Rasul berkata “wahai wanita, aku seorang laki-laki, tidak pantas bagimu menawarkan diri”? Dan bisakah sekarang Anda menjawab, wahai lelaki, siapakah engkau dibanding Rasulullah?? Ohya, perlu sekali saya tekankan, saya tidak sedang bicara tentang “nembak” dengan senjara berlaras itu lho…Ngerti aja kan? Tapi juga bukan tentang “nembak” seperti yang muncul di reality show yang mengklaim dirinya reality show cinta pertama di Indonesia itu. Sungguh, bukan itu. Kalau nembak jenis itu sih, saya sangat berharap Anda sudah mengerti tentang ketidakbenarannya. Nembak yang mulia bukan aplikasi kreatif ketidaksabaran, kekonyolan dan maaf, agak tidak tahu malu terhadap pelanggaran perintah Allah seperti itu dan jauh sekali dengan ikatan suci pernikahan. Tapi sssttt, katanya rating acara itu selalu tinggi. Anda tidak termasuk salah satu yang menaikkannya kan? Ohya (lagi), saat perempuan mengajukan diri untuk menikah, itu juga harus melalui pertimbangan dan cara-cara yang mulia. Ga mungkin dong, ketemu di perempatan lalu langsung minta dinikahi? Hehehe.. Bisa dengan minta diwakilkan orangtua, atau lewat orang-orang sholeh yang bisa dipercaya. Dan sudah seharusnya ada musyawarah sebelumnya dengan mereka dalam hal pemilihan calon agar sisi subjektif dapat dikendalikan. Misalnya karena dilihat cakep, sarjana, mapan kerjanya, kita menjadi lupa pada sisi akhlaknya yang pas-pasan. Tidak salah sih bila menginginkan ikhwan ganteng, pinter dan sebagainya tapi pertimbangan agama dan akhlaknya haruslah yang utama. Hasan bin Ali berkata “ Nikahkan puterimu dengan orang yang bertakwa. Sebab bila ia mencintainya pasti akan menghormati dan memuliakannya dan bila ia tidak mencintainya pasti ia tidak akan menzhaliminya” Sambil berikhtiar, jangan lupa sholat Istikhoroh berulang kali. Petunjuk Allah adalah kemestian yang mesti dimohon selalu. Agar kita tidak menjadi hamba yang disindir Allah lewat ayat ini. …boleh jadi kamu tidak menyenangi sesuatu padahal itu baik bagimu dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu padahal itu tidak baik bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui (Al Baqarah :216) Kadang sebenarnya, bukan karena ketidaktahuan yang membuat para ikhwan melambatkan pernikahan. Tapi semata karena ketidakpedean terutama masalah mahar dan ma’isyah. Nah, akhowat yang seyogyanya juga ikut meyakinkan mereka bahwa Anda berani untuk menanggung bersama. Berani menjalani proses kehidupan apapun bentuknya. Kegembiraan, apalagi kesusahan. Anda berani, bukan? Ya, karena kadang ikhwan-ikhwan itu perlu dipecut agar tidak lagi menjadi pengecut. Agar mereka bertambah kuat iman kepada rezeki Robbnya dan tambah kreativitasnya. Pernikahan terbukti adalah salah satu bentuk media percepatan diri yang sangat efektif. Lalu, biarkan Allah membantu. Sudah ya, kita tutup dulu pembahasan ini. Sekarang waktunya menajamkan usaha memperbaiki diri dan memperkokoh niat. Memang perlu perjuangan untuk mengubah masyarakat dengan tradisi-tradisinya. Tapi setidaknya Anda tahu bahwa tradisi itu harus diubah. Dan Anda bisa memulainya lebih dahulu. Dalam suatu pertemuan, ada seorang teman berseloroh “ Jodoh itu di tangan Tuhan, tapi kalau tidak diambil-ambil, ya akan di tangan Tuhan terus” Hal itu tidak urun memancing tertawa teman-teman yang lain, termasuk saya juga. Tapi untuk anda, wahai perempuan, semoga kelakar tadi semakin menguatkan. ****untuk murobbiyahku tercinta..."ini utang tulisannya mba...kisah kemarin sudah ada endingnya, bukan sad atau happy ending, tapi insyaAllah it's the best ending...^_^ jazakillah untuk semua dukungannya ya mba sayank..." surat cinta (cerpen)0 komentar
Perhatian!Perhatian!
INI CUMA FIKTIF BELAKA BILA ADA KESAMAAN NAMA,TEMPAT ATAU RASA INSYAALLAH TIDAK DISENGAJA. DON’T TRY THIS AT HOME..HEHE.. SURAT CINTA 7 April, 1996. Untuk Bon-bon di kelas 2-C Hai, apa kabar? Sebelumnya aku minta maaf karena mengganggumu dengan suratku ini. Pertama dulu, kenalkan namaku Arini kelas 2-A. Mungkin kamu pernah melihatku tapi ngga tahu namaku. Hmmm…Hmmm..to the point aja ya.. lewat surat ini aku mau bilang…aku mau bilang…bahwa…(maaf, kaya orang gagu aja soalnya aku gugup setengah mati nih) bahwa… you are my first love! (fiuh…akhirnya kukatakan juga). Sejak pertama kali melihatmu, aku langsung suka. Kau tahu di mana pertama kali aku melihatmu (Atau pertama kali aku mulai terkesan sama kamu)?. He…he… sebenarnya bukan tempat yang terlalu menyenangkan sih soalnya saat itu kita lagi punya nasib sama: dijemur di tengah lapangan! Ingat ngga waktu kemarin waktu kita terlambat upacara bendera itu lho… Aku juga masih inget dengan jelas bayangan kamu dijewer pak Rianto (Maaf ya harus membuka luka lamaJ). Tapi pasti kamu ngga ingat aku. Mana ada yang inget sama cewe kaya ini. Ngga cantik, nggak kaya juga pinter. Biasanya kan cowo suka sama standar-standar gitu. Tapi ngga pa-palah, aku terima aja. Bukan salahmu kok. Nah, kalau kamu tanya kenapa aku suka kamu, sebenarnya aku juga bingung. Kenapa ya? Pokoknys tiba-tiba di matsku, kamu menjelma jadi cowo yang paling “sweet” deh. Taylor Hanson aja kalah deh sama kamu (doo..jangan ge-er yah). Kemarin-kemarin mah aku cuek banget sama yang namanya cowo sampai teman-temanku menggelariku “the most cuexx girl” .Tapi sekarang segalanya berubah… Trus aku mau nanya nih.. mau ngga kamu jadi temenku? Kupikir akan sangat menyenangkan bisa berbagi sesuatu denganmu… Curhat bareng, ke kantin bareng..deesbe. Itu namanya pacaran ngga ya? Ngga tahu deh, pokoknya aku cuma mau kenal lebih dekat denganmu. Tapi kalau kamu ngga mau, aku juga ngga bisa memaksa. Itu kan hak semua orang. Aku berhak untuk menyukaimu, kamu juga berhak untuk ngga. Ya kan? (deeh..sok dewasa betul!). Kamu bisa jawab pake surat juga. Titipin aja sama Memet, yang keriwil-keriwil di kelasmu itu loh.. Dia temenku yang paling dekat. Ohya, kamu ngga usah bilang ini ke siapa-siapa yah.. only you and me deh… Kalau ada yang tau, pasti satu es-em-pe bakal heboh! ntar kamu juga yang malu.. Tapi aku percaya, orang yang kusuka ngga bakal menghinaku dengan cara itu. Benar kan? Da..dah… Salam dari boneka tazmaniaku… n.b Terus tersenyum yah, Kamu manis sekali dengan lesung pipitmu itu Persis kaya permen bon-bon hehe… *** 2 Maret 1999 Every time I see your face, my heart does begin to race One half wants me to go, one half wants me to stay I just get so all confused. I’m so scared to fall in love (Every time, Janet Jackson) Dear Eko… Mungkin ini surat dari cewe yang ke sekian kamu terima. Tapi entahlah, kenapa saja aku masih berbaik sangka kamu punya satu ruang untuk memperhatikan suratku ini. Surat ini tak akan pernah kutulis andai saja kamu tidak pernah didatangkan Tuhan di depanku. Dan juga pasti sekarang duniaku baik-baik saja. Aku tidak harus rusuh begini. Dan juga bodoh. Kamu ngga pernah tahu kan aku pernah makan banyak bakwan yang sama sekali ngga kusuka hanya karena ingin duduk di sampingmu. Saat itu piring bakwan itu ada di dekatmu waktu kita di kantin Bu santoso itu. Atau ketika aku ngga mau makan seharian hanya karena meliat kamu boncengan di depan SMU sama anak cewe kelas lain? Kamu ngga tau kan? Dan kamu juga ngga tau kan itu sangat menyakitkan? Aku sampai bertanya pada Tuhan mengapa bisa cinta yang seharusnya menyenangkan menjadi sangat menyengsarakan ketika bertemu dengan kata “ingin memiliki”? Tapi sayangnya, aku rela membeli semua penderitaan itu hanya dengan kebahagiaan sebentar melihat wajahmu. Very silly, isn’t it? Eko, aku ingin nanya, apakah kamu pernah merasakan sakit ini? Menyukai seseorang yang terlalu jauh. Kau ingin terbang meraihnya tapi kamu harus sadar bahwa kau sama sekali tidak punya sayap. Kau menyayangi seseroang tapi kau terlalu takut untuk mengakuinya karena kau sadar kau akan sangat terluka. Kau menyayangi seseorang yang sama sekali tidak tahu bahwa kau ada di dunia ini? KAlau pernah, kenapa kau membiarkan aku merasakannya? Dengan pesonamu itu… Kenapa aku harus mengagumimu dengan cara ini? By the way. Aku tetap berterimaksih dengan rasa ini. Aku tahu , dengan ini aku bisa belajar lebih tegar . And I know, tomorrow, I will get better. *** 9 Mei 2002 Assalamu’alaikum, akhi Rizki… Apakah gadis berjilbab tidak boleh jatuh cinta? Pertanyaan naïf, kurasa karena hanya si buta yang menganggap kami adalah malaikat berwujud manusia. Pun ketika kini, ketika umurku sudah berkepala dua dan sudah jadi mahasiswa tingkat enam. I can feel it, too. Karena bukankah itu memang fitrah dari Allah yang sia-sia sekali untuk disangkal? Tapi tidak, sama sekali aku bukan manusia yang pantas untuk menghalalkan aktivitas hubungan dua jenis berbeda tanpa ikatan menikah yang dibenci Allah. Semoga aku tidak sesombong itu. Aku hanya ingin bilang bahwa tindak-tandukmu, akhi… membuat akhwat-akhwat sangat berpotensi untuk jatuh. Belum lagi harus kusebut wajahmu yang manis, bersih putih, kepintaranmu yang di atas rata-rata dan penampilanmu yang berkharisma. Kuakui, You’ve got something inside!! Dan aku, Astaghfrullah salah satu yang terperangkap di dalamnya. Do’a-do’aku di pertengahan malam mulai terisi namamu. Bahkan dengan agak sedikit ’memaksa”, aku ingin Allah menjadikan kamu jodohku. Betapa bersemangatnya aku datang ke syuro bila kamu jadi ketuanya… Semoga Allah mengampuniku. Kadang aku senyum-senyum sendiri bila mengingat ketika kamu memanggilku ukhti…walau aku tahu yang akhwat lain juga kamu panggil begitu. Tapi Ah, ada saja bedanya terasa. Apalagi senyum yang mungkin dengan ikhlas kamu kembangkan, membuatku merasa jadi sarden beku. Terpaku. Ada apa ini, akhi? Apakah syaitan sedang bermain-main denganku? Mengapa dia berhasil? Tolong akhi, bantu aku melupakanmu. Aku ingin hari-hari damai kembali lagi. Hari-hari yang hanya ada aku dan Allah, tanpa ada satu nama pun terselip di antaranya Tolong jangan terlalu banyak muncul di depan gerombolan-gerombolan akhwat atau menebar senyum ke semua orang atau dengan sengaja me miscallku walau itu hanya untuk membangunkan sholat malam. Terlalu berat akhi, menjaga hati dalam keadaan hati berbunga-bunga diharumi nafsu. Baiklah, kuakhiri saja surat ini dan kuakhiri segalanya. Sungguh, ini bukan hal yang mudah untuk bangkit lagi setelah terperosok terlalu jauh. Tapi aku tidak ingin kalah darimu. Kau selalu punya izzah itu, masa aku akhwat yang harusnya punya malu lebih besar, malah menurunkan harkat diri sendiri? Semoga kamu tetap terjaga dari rasa-rasa yang menyesatkan ini. Aku yakin, Allah menyayangimu. Salam. *** Kulirik jam berbingkai coklat di dinding kamar. Sudah jam 11 malam. Tapi Mas Yos tampaknya tidak menunjukkan tanda-tanda akan mengakhiri kerjaannya mengetik laporan kegiatan seminar Islam di kampus Ahad tadi. Siluet wajahnya sangat menyenangkan untuk dipandang. Wajah hitam manis yang bersih. Kacamata kecil berbingkai hitam bertengger di batang hidung yang lurus dan mata bening bergerak-gerak di dalamnya mengikuti langkah kursor. Ah, Mas Yos. Masku yang sholeh, Mas yang cerdas dan sopan, Mas yang selalu bersemangat untuk perbaikan umat, Mas yang tak pernah ada di dalam hatiku sebelum ia datang dengan kebulatan tekad mengkhitbahku. Degan senyum dikulum, kulipat kembali surat-surat itu. Surat yang tak pernah kukirimkan kepada siapapun. Nama-nama itu pun tersimpan rapi di dalamnya. Aku hanya mempercayakannya pada Allah. Dan aku tahu sekarang, Allah telah membalasnya dengan cara yang lebih indah. *** Banjarmasin, 15 Mei 2006 Di tengah hening, mentertawakan “kenekatan”ku sendiri Sambil menangis. Allah, kumohon..dengarlah…
Subscribe to:
Posts (Atom)
![]() About MeRecent CommentsLabels
Annyyeong! |