Untuk Apa Sekolah? (Renungan Di Hardiknas)

Dialog Anak dan Ibu I
"Ma, Andi pengen uang banyak," celoteh seorang anak suatu hari pada ibunya.
" Berarti, Andi harus sekolah, terus dapat kerja, dapat uang yang banyak deh,"
jawab ibunya ringan.

Dialog Anak dan Ibu II
"Bunda, Mira ingin kuliah," dengan wajah penuh harap, seorang gadis berkata
dengan nada merayu.
"Ibunya menjawab sambil mengibaskan tangannya. "Buat apa sekolah tinggi-tinggi,
lihat tuh tetangga kita, capek-capek kuliah akhirnya cuma di dapur. Ngga penting
sekolah, yang penting bisa cari duit!"

Beginilah dialog yang terjadi di banyak rumah di negara kita. Lebih menyedihkan,
kedua fragmen di atas adalah bagian keseharian kita yang sudah dianggap sangat
biasa. Cermatilah dan bisa kita tarik garis dogmanya, sekolah untuk kaya dan
bila tidak kaya sekolah adalah kesia-siaan belaka. Begitu, kan? Bisa jadi kita
tersentak sesaat, paradigma seperti itu ternyata juga sudah lama mengendap di
otak kita.

Tak heran, wajah buram pendidikan Indonesia yang masih akan buram karena
anggaran pendidikan seebsar 20 persen dari APBN begitu berat untuk dikabulkan,
terus berlanjut. Pelajar yang merasa bakal sulit dapat kerja setelah lulus
akhirnya sekolah malas-malasan. Atau pilihan lain, mereka berduyun-duyun
mengikuti kontes dangdut yang menawarkan imbalan besar secara instan daripada
berlama-lama kuliah di universitas.

Begitu pula masyarakat, saat ada sarjana yang rela mengajari anak-anak pedalaman
atau hanya mengurus keluarga agar menjadi keluarga berakhlak baik, tapi tidak
mempunyai pekerjaan tetap di kantoran dianggap gagal. Karena, motivasi
pendidikan hanya itu. Sebatas nilai rupiah. Hal inilah yang kita sadari atau
tidak sudah diakarkan kuat-kuat oleh lingkungan, negara dan masyarakat dunia
yang sudah tercelup oleh warna kapitalisme. Suatu parameter yang lemah, tidak
kekal dan tidak bermanfaat besar untuk siapa-siapa.

Penguasa sebenarnya sangat mendapat poin strategis dalam hal ini. Kalau boleh
dibilang dengan kalimat yang lebih lugas, mereka yang harus bertanggungjawab
untuk mengalihkan pendidikan money oriented yang kita alami selama ini. Dengan
dipenuhinya sarana pendidikan, perbaikan sistem dan penghargaan yang tinggi
kepada pendidik akan sangat berdampak pada kualitas keluarannya.

Contohnya, kurikulum pendidikan yang terlalu teoritis, penuh hafalan dan
kesimpulan berperan melahirkan pengangguran tanpa keterampilan post sekolah.
Atau pendidikan yang dibawakan dalam suasana materialistis akan membentuk
generasi lembek tidak berenergi, hobi mengutamakan kepentingan dirinya sendiri,
dan hanya mampu mengukur segalanya dari keuntungan materi.

Untuk memperbaikinya, tentu tidak lain posisi penguasa (pemerintah) ini harus
diiisi oleh orang soleh yang faham benar bagaimana menghargai pendidikan. Orang
adil dan amanah yang berwenang mengeluarkan kebijakan yang betul-betul bijak,
bisa kita munculkan melalui partai politik. Kita dapat berpartisipasi untuk
memilih mereka. Jadi, jangan alergi pada parpol.

Semoga tulisan ini tidak terlalu menghakimi, tetapi diharapkan menjadi sedikit
inspirasi untuk melihat ilmu dengan cara pandang baru. Ilmu terlalu tinggi
harganya kalau hanya dinilai dari kacamata uang dan dunia. Kalau ada keuntungan
ekonomi berdasarkan kapasitas ilmu, tentu saja itu efek samping yang berhak kita
terima. Tapi sekali lagi, terlalu dangkal bila itu sudah menjadi tujuan dan
arah.

Dialog Anak dan Anda

"Nak, mau kuliah di mana?" Anda bertanya.

"Ah buat apa kuliah, belum tentu jadi kaya," jawab anak Anda dengan maalas.

"Sekolah tinggi bukan untuk kaya. Ilmu itu untuk mengangkat derajatmu di sisi
Allah, dan agar kau menjadi manusia yang paling bermanfaat untuk manusia lain.
Untuk kekayaan yang sesungguhnya, anakku," jawab Anda.

Tapi, izinkan saya bertanya: "Begitukah jawaban Anda?"


*Published in Banjarmasin Post, 2 Mei 2006*

0 komentar:

Post a Comment