Sepenggal Cerita Biasa

Oleh : Martina Rahmi





LANGIT malam diukiri goresan kilat dan angin dingin, memberitakan hujan akan segera menyapa. Gara duduk meringkuk di sudut dinding kayu yang telah lapuk mencari sedikit kehangatan dari tubuhnya sendiri. Bila malam dan hujan, ia punya alasan pada dunia untuk tidak membentang tubuh kecilnya di jalanan terik berdebu. Dengan begitu, berarti perutnya malam ini akan kosong tak terisi. Sudah biasa, kekosongan adalah karibnya.

Di sisinya tergolek tubuh kurus lemah tak berdaya. Tangan dan kaki kecilnya tersusun dari tulang-tulang menonjol yang hanya terbungkus kulit. Tak bisa bergerak bila tidak digerakkan. Bagian tubuh yang paling besar hanyalah kepalanya, tapi kepala itu pun tidak dapat digunakan selain untuk menggeleng dan mengangguk.

Dadanya naik turun dengan berat, terlihat berusaha menarik nafas semampunya. Gara menatap lekat pada Abas, adiknya. Menatap satu-satunya sahabatnya itu dengan sedih. Mendengar cerita lelahnya menjual koran seharian, dukanya saat pemalak merampas semua uangnya. Abas mendengarkan segalanya walau cuma bisa mengerjapkan sinar mata. Tapi setidaknya Gara tahu, dia tidak sendirian.
Entah apa penyakit Abas, Gara tak mengerti. Kata Pak Mantri yang dulu berbaik hati pernah singgah, Abas mengidap penyakit kekurangan makanan yang parah. Dia harus segera dibawa ke rumah sakit, tapi tak mungkin karena tak ada biaya.

Tak boleh mengeluh. Kalimat itu berulang kali dihantamkannya ke dada agar kekuatan menelikung, menopang jiwanya, mempertahankan semangat hidupnya. Untuk dia, dan untuk adiknya.
Gara tahu, mengeluh pun tak akan mengubah apa-apa. Dia harus bersyukur saat budhe berkenan memberi tumpangan sepetak atap bernaung. Tak perlu menangis atau merengek walau budhe tak pernah memberi makan cukup kepadanya dan adiknya. "Setidaknya, budhe lebih baik dari ibu" batin Gara berbicara. Ibu yang membawa mereka dari kampung dan meninggalkan dengan paksa di rumah budhe begitu saja.
Kata orang-orang, ibunya tidak punya uang untuk mengasuh anak-anaknya, terlebih saat suaminya meninggalkan tanpa kabar. Apakah Gara rindu ibu dan bapaknya? Entahlah. Gara merasa tidak perlu merindukan siapa-siapa karena saat kerinduan mencabik, mereka juga tak akan datang.
Gara memahami tak mudah mencari uang, bagaimana lelahnya mencari rupiah demi rupiah di antara bus-bus, di sudut-sudut jalan, di perempatan padat lampu merah. Jadi tak ada kesal saat budhe yang hanya bekerja sebagai tukang cuci itu tidak pernah memberinya nasi.

Budhe juga punya anak kecil yang harus dirawat. Tak boleh ada iri saat melihat sepupu-sepupunya melahap susu dengan nikmat walau ingin sekali rasanya Gara mencicipkan susu itu ke Abas. Tapi cukuplah air tajin untuk Abas. Anggaplah seperti susu putih, Abas juga tidak tahu bagaimana rasanya susu. Getir.
Gara menunduk dan berbisik lirih di telinga adiknya, "Bila kamu sembuh, aku berjanji kita akan jalan-jalan sepuasmu sambil bawa kerenceng tutup botol yang dibuatkan Mang Dodon. Kita bisa bernyanyi, tertawa bersama di dalam bus atau di depan kaca mobil-mobil mewah itu. Kau suka menyanyi, bukan?"
Abas tetap tak bergerak. Tapi sudut bibirnya yang tertarik lebar dan matanya bersinar-sinarnya saja berbicara. Hanya Tuhan yang mengerti percakapan dua jiwa itu.
***


"Gar, di halaman rumah Haji Abu ada pembagian beras murah, ‘Ncing elo tau ga?" Suara keras Iyong menghentak Gara. Beras murah? Otak gara serasa berlari lebih cepat dari biasanya. Bila kubeli beras itu, mungkin budhe mau menukarnya dengan segelas susu. Abas pasti akan senang sekali. Asyik!
Gara melompat bahagia. Dia bahagia sekali dengan pemikirannya itu, seolah telah mendapat harta karun yang tak bernilai. Siang itu ditelannya. Matahari yang menyengat tak mampu mengejeknya.
Aku harus dapat uang hari ini! Semangatnya berkobar-berkobar mengingat adiknya. Dibawanya kotak semir sepatu itu ke pertokoan mewah. Dia terus berjalan menawarkan semirannya, tak ia perdulikan sandal tipis yang semakin tipis, wajah-wajah keras yang menghina atau kibasan tangan yang mengusirnya. Dan sunggingan senyum pun terlintas setelah beberapa recehan rupiah bergerincing di kotaknya. Digenggamnya uang itu erat-erat.
***


Halaman haji Abu sudah dikerumuni banyak orang ketika ia datang. Dengan menyelipkan tubuh ringkihnya sekuat tenaga, akhirnya dia dapat membeli satu tas kresek beras. Segera setelah melepaskan desakan dari gerobolan itu, dia langsung melangkah pulang ke rumah.
Entah mengapa siang yang panas tiba-tiba berubah menjadi titik-titik air yang semakin banyak dan besar. Gara berlari secepatnya, dimasukkanya beras itu ke dalam baju kaos putihnya yang tipis dan kian transparan terkena basah hujan. Sandalnya yang putus pun tak dipedulikanya. Langkah-langkah kecil tak beralas itu terus melawan tapak tanah yang keras di bawah guyuran hujan.
Memprihatinkan. Tapi tidak bagi Gara. Dia tersenyum paling bahagia dalam hidupnya. Senyum seorang pahlawan yang telah memenangkan perang.


Sampai di depan rumah budhe, dilihatnya beberapa orang berkumpul. Budhe menyongsongnya dengan muka gusar " Gar, cepat ke pasar, beli kain". Gara berkerinyit. "Kain apa?" Mpok Rohida, tetangga sebelah rumah menepuk pundak Gara pelan ‘Kain kafan Gar, Adik elu meninggal tadi. Ga tau kenapa dia kena bengek parah banget ".


Gara nanar. Tahukah siapa yang mereka sedang bicarakan? Mereka sedang bicara tentang adiknya. Satu-satunya penghibur laranya. Satu-satunya sumber sinarnya!
"Abas..bangun Bas..! Mengapa kau tidak membuka mata? Bukankah kau berjanji bernyanyi denganku? Bangun, bas! Kau mau minum susu? Kau belum tau enaknya susu,bukan? Bangun Bas!"

Airmata berjatuhan bercampur basah air hujan di pipinya. Gara mengguncangkan bahu adiknya dengan isak dan kemarahan. Marahnya pada budhe, tetangga, dirinya sendiri, pada Abas. Kepada semuanya. Sementara di luar deras hujan terus menghunjam dan diam. Seolah tak peduli apapun yang terjadi di bumi.



*Published In Banjarmasin Post, 4 Desember 2007*

0 komentar:

Post a Comment