Di sinilah ketenangan itu..

Totto Chan heran. Belum pernah dia mendengar ada orang berkata anak laki-laki harus menghargai anak perempuan. Setahunya anak laki-lakilah yang terpenting.

Dalam keluarga yang dia tahu anaknya banyak, anak laki-laki selalu dilayani lebih dahulu waktu makan dan saat minum teh sore. Kalau anak perempuan memprotes, ibu mereka akan berkata: “Anak perempuan hanya untuk dipandang, bukan untuk didengar!”

Keheranan Toto Chan dalam buku yang ditulis Tetsuko Kuroyanagi itu menggambarkan suasana riil Jepang pada 1940-an. Coretan sejarah di mana perempuan dimarginalkan dengan sangat parah.

Kiranya, trauma diskriminasi itu masih tertoreh di lembaran kekinian negara kita. Orang-orang berbicara mengenai menyatukan perempuan dalam pembangunan yang disebut dengan pendekatan perempuan di dalam pembangunan (women in development), yang bertujuan memenuhi kebutuhan perempuan dan menggunakan kemampuan dan keahlian tradisional perempuan untuk mencapai tujuan pembangunan.

Namun ditemukan bahwa kebijakan dan programnya sebatas tertuju kepada subordinasi dan area penindasan perempuan, tidak mempertanyakan pemikiran dan program pembangunan. Perencana mengasumsikan, bahwa program pembangunan secara otomatis akan menguntungkan semua anggota masyarakat. Tetapi asumsi itu tampak tidak valid hampir di setiap tempat.

Perempuan dianggap sebagai kaum terbelakang, kaum tertindas dan objek dari suatu pelaksanaan pembangunan. Perempuan lebih sering dijadikan sebagai pelengkap. Dengan demikian ketika terdapat subjek yang memang pas, cocok, maka tidak heran yang berstatus sebagai pelengkap tidak diperhitungkan eksistensinya.

“Sesungguhnya perempuan adalah belahan tak terpisahkan dari lelaki.” (HR Ahmad dan Al baihaqi)

Allah mengangkat dan menjadikan kaum perempuan setingkat kaum pria, karena itu keduanya memiliki identifikasi dalam kelahirannya. Adanya spesialisasi kodrat antara kaum perempuan dengan laki-laki, bukanlah sebentuk diskriminasi syariat Islam terhadap perempuan. Adanya perbedaan itulah, keduanya akan saling melengkapi dalam tanggung jawab mewujudkan tujuan luhurnya agar mereka rida terhadap apa yang telah ditetapkan Allah SWT. Sebagaimana firman Nya


“Janganlah kalian iri hati dengan apa yang dikaruniakan Allah kepada sebagian kalian lebih banyak dari sebagian yang lain, (karena) bagi laki-laki ada bagian yang mereka usahakan dan bagi perempuan pun ada bagian dari apa yang mereka usahakan.” (QS An Nisa:3).


Itulah kesetaraan terindah, kebersamaan paling tenang. Kebersamaan dalam kesalihan.

Siapakah yang menafikan itu? Apakah mereka yang menyanjung perempuan, mengangkatnya sampai langit, pujian tanpa makna sekadar untuk memanfaatkan kecenderungan perempuan yang perlu ungkapan mesra? Sungguh berkilau dan menyilaukan istilah yang mereka sebut feminisme itu. Tetapi bahkan Kartini, yang didaulat --entah oleh siapa-- sebagai ‘ratu emansipasi’ sadar dalam kecerdasannya bahwa ada yang perlu diluruskan seperti suratnya kepada Ny abendanon, 27 oktober 1902.

Surat itu menyatakan:
Sudah lewat masanya. Tadinya kami mengira bahwa masyarakat Eropa itu benar-benar satu-satunya yang paling baik, yang tiada taranya. Maafkan kami, tetapi apakah ibu sendiri menganggap masyarakat Eropa itu sempurna? Dapatkah ibu menyangkal bahwa di balik hal yang baik dan indah dalam masyarakat ibu terdapat banyak hal yang sama sekali tidak patut disebut peradaban?


Di manakah muslimah diperkenankan berkiprah? Perempuan bukan makhluk pingitan. Risalah Islam turun untuk meluruskan dua kutub ekstrem menyikapi perempuan. Menisbahkan perempuan sebagai sosok yang bisa dinikmati oleh pandangan syahwat lelaki di mana pun dan kapan pun, adalah kezaliman terhadap mereka. Sebagaimana memagari mereka di sudut ruangan yang sempit, tidak mengizinkannya keluar dan berpartisipasi dalam kehidupan publik sedikit pun. Itu juga kezaliman di sisi lain.

Deretan shahabiyah seperti Syifa binti Abdullah yang berperan sebagai dokter, Ummul Ala sebagai perawat, Ummu Mubasyisyir al Anshariyyah yang seorang petani sukses dengan kebun kurmanya yang luas, Khadijah binti Khuwailid, seorang niagawati internasional cukuplah bukti untuk kita dari belasan abad lalu bahwa perempuan mempunyai potensi yang tak layak diredam.

Ustad HM Anis Matta cukup utuh mendeskripsikan arti perempuan berikut:

Dalam pola kehidupan nomaden, perempuan adalah bunga di tengah hutan belantara. Tapi dalam pola kehidupan kota, perempuan adalah bunga di tengah taman. Peradaban kita menjadi indah ketika kita berempu pada perempuan. Sebab perempuan, seperti kata HAMKA adalah per-empu-an peradaban atau tempat bersandar. Perempuan seperti kata Alquran, adalah tempat kita menemukan ketenangan.


*Published in Banjarmasin Post, 4 september 2009



0 komentar:

Post a Comment