dokterku sayang : dokterku karang

Delayed…

Tapi tak seperti wajah-wajah kesal di sekelilingku, aku menghembuskan nafas lega. Aku jadi punya alasan untuk menunda sebentar penderitaan yang akan kuterima. Mereka yang marah akibat tertundanya keberangkatan pesawat ini, pasti punya alasan-alasan kuat untuk itu. Misalnya karena harus tertundanya perjumpaan dengan anak yang lama tak ditemuinya atau seorang cucu yang membawakan obat untuk neneknya yang sedang sekarat atau seseorang yang sedang dikejar-kejar debt collectors yang bercokol di bandara atau banyak alasan lainnya.


Tidak bagiku, karena aku harus akan menghadapi Pak Win lagi, tentu dalam momen yang tidak menyenangkan. Apalagi ketika kumengingat kumis sangarnya, kumis lebat hitam tak berjeda itu, dengan kerapian sempurna yang menggambarkan perfeksionisme pemiliknya, yang berjingat-jingat ekspresif saat mulutnya mengeluarkan semburan-semburan garangnya, tak bisa kupungkiri aku bersyukur dengan penundaan pesawat ini. Dan aku sangat berharap dalam waktu delay ini, pak Win mendapat kejutan yang mengharuskan dia pergi dari Jakarta misalnya tiba-tiba istrinya ngidam mau buang air kecil di gurun Sahara, atau tiba-tiba kumisnya tumbuh gondrong sehingga ia harus mengguntingnya satu persatu atau..apalah.. Hmm…bukan salahku target penjualan tak terpenuhi bulan ini. Bawahanku banyak yang direkrut dari divisi lain jadi mereka harus beradaptasi dengan keras lebih dulu. Tapi aku tahu, semua alasan dan tetek bengek itu itu tak akan dia ambil peduli. Bos divisiku di kantor pusat itu hanya menginginkan Seratus persen!..Seratus persen!
Sebenarnya aku lelah juga harus kerja di bawah target begini. Seperti dikejar hantu. Dan hantu itu menjelma tiap bulan menjadi lembaran-lembaran kumis Pak Win.


Sembari mengkhayalkan kejadian-kejadian aneh yang kuharapkan menimpa pak Win, kulirik seorang laki-laki berusia empat puluhan di sebelahku di deretan bangku ruang tunggu Bandara Djuanda ini. Tampangnya yang gagah kontradiktif dengan kesan letih yang dipancarkannya. Kacamata elegan tak berbingkainya mengesankan orang ini cukup cerdas.

“Mau ke mana Mas” Kusapa iseng.

“ Ke desa…. (aku lupa namanya) Tapi lewat Banjarmasin dulu” Dia menjawab agak pelan.
Aku berfikir dalam hati. Ke desa? Seorang petani atau pedagang terlalu rapi dengan dandanannya seperti ini. Baju kemeja Polo biru tua dengan celana kain berbahan bagus.

“Hmm..punya sawah di sana?” Aku memberanikan bertanya.

“Tidak..saya dokter” Dia menjawab sambil tersenyum kecil. Mungkin fikirnya aku konyol sekali mengira semua yang ada di desa hanya hamparan sawah. Dan itu memang konyol. Aku merutuk menyesal.

“Oh” selaku terperanjat

Aku lebih terperanjat lagi saat mengetahui untuk mencapai desa –apalah namanya- itu, si dokter harus naik bus lagi selama 10 jam dan kemudian memakai perahu bermotor selama 3 jam.. Jadi sekitar empat belas jam perjalanan dari Bandara melewati jalan berhutan belantara. Kemudian harus tinggal di desa tak berlistrik, jauh dari keluarga, jauh dari infotainment.

“Gajinya tak banyak, biasa saja” Seolah membaca fikiranku, dia bergumam. Ya, siapapun pasti akan menanyakan dibayar berapa dia sudi mencemplung ke dunia antah berantah itu?

“Benar dok, Dokter memang diperlukan banyak di desa-desa… jangan cuma mau cari duit di ibukota” Tapi aku tetap mencerocos sok tahu.
Dokter itu tersenyum kalem. Dan aku melanjutkan cerocosanku.

“Saya salut dokter mau pergi ke pelosok mengabdi. Saya malah ingat dengan seorang dokter oknum yang tidak mau menolong ibu saya. Waktu itu, asma ibu saya kambuh, dokter kejam itu tidak mau mau datang ke rumah saya. Kok ada ya yang bahkan dipanggil ke rumah saja tidak mau?” Raungku berapi-api.

“Saya juga tidak” sahut si dokter.

Penyataannya barusan jelas membuatku terperangah. Seolah-olah setelah asyik menggosipkan seseorang, ternyata seseorang itu melambai-lambaikan tangannya tepat di depan mata kita!

“Saya ceritakan sesuatu” Dokter itu tampaknya telah memaafkan kebodohanku. Dia bercerita dengan mata yang mengelam. Ceritanya ini tampak tidak pernah ia lupakan.


“Satu malam lewat dini hari, pintu rumah dinas saya digedor-gedor seseorang, yang ternyata utusan dari sebuah keluarga untuk menjemput saya. Dia bilang, ada kakak iparnya yang tiba-tiba meracau dan tak sadarkan diri. Walau dengan berat hati, karena saya sudah lelah seharian lebih bekerja, mau tak mau, atas tuntutan nama profesi dokter, saya berangkat juga.

Kami kemudian ke rumahnya yang di atas gunung dan berjarak sekitar satu jam perjalanan. Setelah saya periksa pasiennya, tampak tak ada kelainan selain terjadi gangguan kesadaran dan bau alkohol dari mulutnya. Lalu saya terangkan kepada keluarganya, bahwa dia tidak menderia penyakit apa-apa, hanya mabuk karena alkohol. Tampaknya mereka tidak bisa terima keterangan dari saya dan ,mereka memaksa saya memberi obat. Tetapi saya tidak mau dan berbalik ingin pulang. Belum sampai di pintu keluar, saya merasakan ada sensasi dingin, cepat dan perih yang teramat sangat di pinggang saya. Seseorang dari mereka ternyata telah menikamkan pisau ke belakang saya. Untunglah ada tetangga lain yang mendengarkan teriakan saya dan membawa kerumah sakit. Nyawa saya dapat terselamatkan, tapi tidak dengan ginjal kanan saya. Sekarang saya hidup hanya dengan satu ginjal”


“Jadi” sambungnya sambil menoleh ke arahku.
"Apakah kami , dokter, yang juga manusia, tidak boleh memikirkan keselamatan diri? Siapa yang bersedia melindungi kami saat berjalan ke sudut-sudut rumah yang penghuninya tak satupun kami kenal? Itulah risiko profesi dokter, kalian bilang. Padahal selama ini kami diajari bahwa risiko kami adalah menyelamatkan sebanyak-banyaknya nyawa. Saya tidak pernah tahu bahwa risiko pekerjaan kami ternyata termasuk dipaksa mengorbankan nyawa saya untuk satu nyawa orang lain".


Dia membetulkan kacamatanya dengan tegas sebelum berdiri dari bangku tunggu. “itu pesawat saya.. Saya harus pergi” Dia mengemasi barangnya.


Aku hanya bisa tertegun saat memandang langkahnya yang berat semakin menjauh. Memandang punggungnya yang lelah. Memandang empat belas jam perjalanannya yang akan sangat tidak mewah. Memandang pertempurannya ke depan dalam kehidupan tanpa film Transformer dua atau ke berapapun. Dan Segera kumis pak Win tidak menakutkan lagi.

***



* terinspirasi dari kisah nyata
* terimakasih untuk Abi-ku, dokter-ku, yang membuatkan mie goreng dan telur ceplok super enak saat aku menulis cerpen ini.



teruntuk dokter-dokter yang berhak dikagumi itu..




0 komentar:

Post a Comment