dokterku sayang : dokterku karang0 komentar Tuesday, October 27, 2009
Delayed…
Tapi tak seperti wajah-wajah kesal di sekelilingku, aku menghembuskan nafas lega. Aku jadi punya alasan untuk menunda sebentar penderitaan yang akan kuterima. Mereka yang marah akibat tertundanya keberangkatan pesawat ini, pasti punya alasan-alasan kuat untuk itu. Misalnya karena harus tertundanya perjumpaan dengan anak yang lama tak ditemuinya atau seorang cucu yang membawakan obat untuk neneknya yang sedang sekarat atau seseorang yang sedang dikejar-kejar debt collectors yang bercokol di bandara atau banyak alasan lainnya. Tidak bagiku, karena aku harus akan menghadapi Pak Win lagi, tentu dalam momen yang tidak menyenangkan. Apalagi ketika kumengingat kumis sangarnya, kumis lebat hitam tak berjeda itu, dengan kerapian sempurna yang menggambarkan perfeksionisme pemiliknya, yang berjingat-jingat ekspresif saat mulutnya mengeluarkan semburan-semburan garangnya, tak bisa kupungkiri aku bersyukur dengan penundaan pesawat ini. Dan aku sangat berharap dalam waktu delay ini, pak Win mendapat kejutan yang mengharuskan dia pergi dari Jakarta misalnya tiba-tiba istrinya ngidam mau buang air kecil di gurun Sahara, atau tiba-tiba kumisnya tumbuh gondrong sehingga ia harus mengguntingnya satu persatu atau..apalah.. Hmm…bukan salahku target penjualan tak terpenuhi bulan ini. Bawahanku banyak yang direkrut dari divisi lain jadi mereka harus beradaptasi dengan keras lebih dulu. Tapi aku tahu, semua alasan dan tetek bengek itu itu tak akan dia ambil peduli. Bos divisiku di kantor pusat itu hanya menginginkan Seratus persen!..Seratus persen! Sebenarnya aku lelah juga harus kerja di bawah target begini. Seperti dikejar hantu. Dan hantu itu menjelma tiap bulan menjadi lembaran-lembaran kumis Pak Win. Sembari mengkhayalkan kejadian-kejadian aneh yang kuharapkan menimpa pak Win, kulirik seorang laki-laki berusia empat puluhan di sebelahku di deretan bangku ruang tunggu Bandara Djuanda ini. Tampangnya yang gagah kontradiktif dengan kesan letih yang dipancarkannya. Kacamata elegan tak berbingkainya mengesankan orang ini cukup cerdas. “Mau ke mana Mas” Kusapa iseng. “ Ke desa…. (aku lupa namanya) Tapi lewat Banjarmasin dulu” Dia menjawab agak pelan. Aku berfikir dalam hati. Ke desa? Seorang petani atau pedagang terlalu rapi dengan dandanannya seperti ini. Baju kemeja Polo biru tua dengan celana kain berbahan bagus. “Hmm..punya sawah di sana?” Aku memberanikan bertanya. “Tidak..saya dokter” Dia menjawab sambil tersenyum kecil. Mungkin fikirnya aku konyol sekali mengira semua yang ada di desa hanya hamparan sawah. Dan itu memang konyol. Aku merutuk menyesal. “Oh” selaku terperanjat Aku lebih terperanjat lagi saat mengetahui untuk mencapai desa –apalah namanya- itu, si dokter harus naik bus lagi selama 10 jam dan kemudian memakai perahu bermotor selama 3 jam.. Jadi sekitar empat belas jam perjalanan dari Bandara melewati jalan berhutan belantara. Kemudian harus tinggal di desa tak berlistrik, jauh dari keluarga, jauh dari infotainment. “Gajinya tak banyak, biasa saja” Seolah membaca fikiranku, dia bergumam. Ya, siapapun pasti akan menanyakan dibayar berapa dia sudi mencemplung ke dunia antah berantah itu? “Benar dok, Dokter memang diperlukan banyak di desa-desa… jangan cuma mau cari duit di ibukota” Tapi aku tetap mencerocos sok tahu. Dokter itu tersenyum kalem. Dan aku melanjutkan cerocosanku. “Saya salut dokter mau pergi ke pelosok mengabdi. Saya malah ingat dengan seorang dokter oknum yang tidak mau menolong ibu saya. Waktu itu, asma ibu saya kambuh, dokter kejam itu tidak mau mau datang ke rumah saya. Kok ada ya yang bahkan dipanggil ke rumah saja tidak mau?” Raungku berapi-api. “Saya juga tidak” sahut si dokter. Penyataannya barusan jelas membuatku terperangah. Seolah-olah setelah asyik menggosipkan seseorang, ternyata seseorang itu melambai-lambaikan tangannya tepat di depan mata kita! “Saya ceritakan sesuatu” Dokter itu tampaknya telah memaafkan kebodohanku. Dia bercerita dengan mata yang mengelam. Ceritanya ini tampak tidak pernah ia lupakan. “Satu malam lewat dini hari, pintu rumah dinas saya digedor-gedor seseorang, yang ternyata utusan dari sebuah keluarga untuk menjemput saya. Dia bilang, ada kakak iparnya yang tiba-tiba meracau dan tak sadarkan diri. Walau dengan berat hati, karena saya sudah lelah seharian lebih bekerja, mau tak mau, atas tuntutan nama profesi dokter, saya berangkat juga. Kami kemudian ke rumahnya yang di atas gunung dan berjarak sekitar satu jam perjalanan. Setelah saya periksa pasiennya, tampak tak ada kelainan selain terjadi gangguan kesadaran dan bau alkohol dari mulutnya. Lalu saya terangkan kepada keluarganya, bahwa dia tidak menderia penyakit apa-apa, hanya mabuk karena alkohol. Tampaknya mereka tidak bisa terima keterangan dari saya dan ,mereka memaksa saya memberi obat. Tetapi saya tidak mau dan berbalik ingin pulang. Belum sampai di pintu keluar, saya merasakan ada sensasi dingin, cepat dan perih yang teramat sangat di pinggang saya. Seseorang dari mereka ternyata telah menikamkan pisau ke belakang saya. Untunglah ada tetangga lain yang mendengarkan teriakan saya dan membawa kerumah sakit. Nyawa saya dapat terselamatkan, tapi tidak dengan ginjal kanan saya. Sekarang saya hidup hanya dengan satu ginjal” “Jadi” sambungnya sambil menoleh ke arahku. "Apakah kami , dokter, yang juga manusia, tidak boleh memikirkan keselamatan diri? Siapa yang bersedia melindungi kami saat berjalan ke sudut-sudut rumah yang penghuninya tak satupun kami kenal? Itulah risiko profesi dokter, kalian bilang. Padahal selama ini kami diajari bahwa risiko kami adalah menyelamatkan sebanyak-banyaknya nyawa. Saya tidak pernah tahu bahwa risiko pekerjaan kami ternyata termasuk dipaksa mengorbankan nyawa saya untuk satu nyawa orang lain". Dia membetulkan kacamatanya dengan tegas sebelum berdiri dari bangku tunggu. “itu pesawat saya.. Saya harus pergi” Dia mengemasi barangnya. Aku hanya bisa tertegun saat memandang langkahnya yang berat semakin menjauh. Memandang punggungnya yang lelah. Memandang empat belas jam perjalanannya yang akan sangat tidak mewah. Memandang pertempurannya ke depan dalam kehidupan tanpa film Transformer dua atau ke berapapun. Dan Segera kumis pak Win tidak menakutkan lagi. *** * terinspirasi dari kisah nyata * terimakasih untuk Abi-ku, dokter-ku, yang membuatkan mie goreng dan telur ceplok super enak saat aku menulis cerpen ini. teruntuk dokter-dokter yang berhak dikagumi itu.. MONOLOG* DUA LAUT0 komentarMonolog nomor satu.
Salam…hoahhhmmm…alhamdulil Perkenalkan, namaku Galilea. Tapi mugkin banyak dari kalian tidak perduli akan nama ini...Siapa sih yang mau memusingkan kepala dengan mengingat nama laut? Ya, aku seorang laut. Atau sebuah laut? Dari dulu aku tidak pernah bisa memutuskannya… Tapi nama sangat penting menurutku sebagai simbolisasi agar komunikasi kita semakin cantik. Galilea sudah sangat menggambarkan diriku dan sinar kebahagiaan di sekitarku. Seperti bahagiaku memiliki seorang sahabat baik bernama Sungai Yordan… biar kuberitahu betapa tampannya dia: Airnya tenang, jernih dan begitu indah berkilauan. Dia suka tertawa kalau tertimpa sinar matahari. Hampir setiap sore dia mengunjungiku ditemani pengawalnya yang setia, Angin selatan. Kami sering menghabiskan senja yang indah sambil saling bercerita dan menyantap manisan arbei. Walau sungai Yordan adalah teman terbaikku..tapi aku punya sahabat-sahabat lain. Seperti pohon-pohon arbei yang ranum buahnya, yang menyediakan berapa saja buah yang kami inginkan berjejer di dekat Yordan. Atau burung Ibis berkepala botak yang dulu dipuja firaun…Burung-burung botak lucu itu berkecipak tak ragu dan membangun sarang-sarangya di pohon-pohon kurma nan megah. Setiap malam dia membawa teman burung yang berbeda. Kadang yang tampak perkasa, si Golden Aagle ikut mengintip-intip tapi terlalu angkuh untuk ikut bermain. Pemandangai yang ramai. Orang-orang juga banyak membangun rumah di sekitarku…ada pemuda Ali..seorang pembuat perahu yang selalu tampak sehat dan ceria. Ada Bibi fatimah yang suka memandikan buah hatinya,Rajbi di tepian sungai Yordan. Nah itu mereka berlari-lari ke pantai putihku! Sudah dulu ya, aku mau bermain bersama mereka. *** Monolog nomor dua Huh! Siapa pagi-pagi ini yang membangunkanku?! Okey…okey… selamat pagi…atau selamat malam.. Siapa peduli? Kalau kau mau tahu siapa aku, (sayangnya) aku adalah laut. Kau mau tahu namaku? Ah, itu sangat tidak penting. Kau juga mau tahu kehidupanku? Apa yang bisa kuceritakan dari kehidupanku yang bisa membosankan ini. Kehidupan membosankan sedunia dengan pekerjaan membosankan sedunia. Tiap hari hanya diam menunggu dan menunggu sesuatu yang bahkan tidak kuketahui apa itu. Kalau mau jujur, inilah yg kurasa: SEPI dengan huruf besar. Kurasa Aku adalah laut yang paling sendiri di seluruh bumi ini. Tak ada yang berkicauan di sekitarku, tak ada daun-daun hijau yang melambai, tak ada yang berkeriapan, tak ada tawaria anak-anak. Para pelancong sering memilih jalur pelayaran lain, kecuali kalau urusannya mendesak. Udara di atasku terasa berat dan hampa. Kelam dan hitam. Sungai Yordan memang sering berkunjung ke kediaman dinginku.. tapi dia selalu datang dengan wajah tololnya itu..wajah yang paling kubenci : Wajah bahagia. Wajah yang selalu berhasil memberi eksistensi pada kesedihanku. Dia sering mengundangku untuk bertamu ke rumah-rumah di samping sungainya, ke ladang teman-temannya yang sedang kekeringan...Katanya mereka sangat memerlukan airku untuk panen kali ini. Tapi apa peduliku? Bukankah kita sudah masing-masing diberi jatah oleh Tuhan..Kalau energi yang diberi padaku lebih banyak, bukan salahku kan? Mereka hanya terlalu malas besusah-payah menimba sumur. Lalu kuusir Sungai Yordan pelan-pelan…takut dia akan menghabiskan seluruh biskuitku. Yordan pun pergi dengan hanya mengedikkan bahu. Fiuhh..Sekarang saatnya menarik selimut lagi dan tidur dalam mimpi-mimpi indahku..Semoga tak ada yang mengetuk pintuku lagi. *** Aku tertegun mendengar monolog dua laut Palestina itu. Sangat mengesankan tapi membingungkan. Terlalu absurd. Apa sebenarnya yang membuat perbedaan besar di antara ke dua laut yang berdekatan ini? Apakah sungai Yordan? Bukan, bukan sungai Yordan. Sungai Yordan mengalirkan air yang sama baiknya ke dalam ke dua laut ini. Tanah? bukan pula kurasa, bukan negara di mana kedua laut ini berada. Inilah bedanya.. Laut Galilea menerima tetapi tidak menahan air dari Sungai Yordan. Untuk setiap tetes yang mengalir ke dalamnya, ada setetes yang mengalir ke luar darinya. Galile menerima..tapi juga memberi.. sedang Laut yang satunya lebih cerdik, menimbun pemasukannya dengan serakah. Laut ini takkan tergoda oleh dorongan untuk bermurah hati. Setiap tetes yang diterimanya, hanya ditahannya. Laut Galilea memberi dan hidup. Laut yang satunya tidak memberi apa-apa. Karena itulah kita sebut ia Laut Mati. Ah,sebenarnya sangat jelas, jelas sekali… Ada dua tipe manusia di dunia. Ada dua laut di palestina**. *** *Monolog: suatu ilmu terapan yang mengajarkan tentang seni peran di mana hanya dibutuhkan satu orang atau dialog bisu untuk melakukan adegan **Terinspirasi oleh salah satu tulisan di buku the 7 habits of highly effective teens, karya Sean Covey published in Banjarmasin Post, Juli 2009 hmmm..wahai cerminku...0 komentarPada kami, syaithan membisikkan
kalimat-kalimat pemisah gemuruh bagai lebah keakraban dibakar rasa, sergapan kecewa tapi di saat seperti inilah kami paksa hati untuk melawan katakan tidak pada sang syaithan setiap mukmin adalah cermin satu bagi yang lain maka tiap aib adalah kaca diri “maafkan saudaraku, adalah rombeng imanku yang membuatmu diserbu gelombang pilu” tapi di saat seperti inilah kami paksa hati untuk melawan jangan sampai satu sama lain membantu syaithan membawakan jerumus karena bahkan dalam segala ketakindahan hidupmu kau masih hadirkan persaudaraan terindah untukku karena dalam tiap prasangka di antara kita masih tersimpan cinta mari kita berjanji hari ini, untuk kesekian kali telah kita perbarui sebuah ikatan suci dan izinkan aku melihat kembali senyum itu ruku’ yang lurus sempurna kopiah putih bersahaja dan mujahid mujahidah gigih yang melangkah gagah merengkuh tanganku, menjemput syahid dalam padu *** aku takut..0 komentar
Siang ini....
membaca tulisan seorang kawan dan aku ingat ibnul jauzy *** “Andai seseorang berma’shiat”, kata beliau “disebab syahwat aku masih punya harapan tinggi bahwa Allah akan mengampuni tapi dia yang sombong dan keras kepala berdosa dan merasa diri baik-baik saja aku takut..” *** “sebab adam dan hawa berma’shiat karena syahwatnya dan Allah mengampuni mereka sebab iblis berdosa dan durhaka karena sombongnya dan ia dilaknat sepanjang masa.” *** aku lalu menangis.. membaca ayatNya terasa begitu miris “maukah kukabarkan padamu tentang ia yang paling merugi ‘amalnya?” andai boleh ya Allah, aku tak ingin tahu karena aku takut, aku termasuk di situ tapi Engkau telah berfirman, “yaitu orang yang telah sesat upayanya dalam kehidupan dunia, lalu dia menyangka bahwa dia telah berbuat sebaik-baiknya.” *** semoga tiap langkahku ya Allah tidak sedang menyuruk ke sana karena aku tahu dalam tiap dosaku tersimpan bahaya saat aku memakluminya, menganggapnya biasa *** ^credit to salim a. fillah ^ victory plea0 komentarya Allah, berikan taqwa kepada jiwa-jiwa kami dan sucikan dia. Engkaulah sebaik-baik yang mensucikannya Engkau pencipta dan pelindungnya ya Allah, perbaiki hubungan antar kami Rukunkan antar hati kami Tunjuki kami jalan keselamatan Selamatkan kami dari kegelapan kepada terang Jadikan kumpulan kami jama'ah orang muda yang menghormati orangtua Dan jama'ah orang tua yang menyayangi orang muda Jangan Engkau tanamkan di hati kami kesombongan dan kekasaran terhadap sesama hamba beriman Bersihkan hati kami dari benih-benih perpecahan, pengkhianatan dan kedengkian ya Allah, wahai yang memudahkan segala yang sukar Wahai yang menyambung segala yang patah Wahai yang menemani semua yang tersendiri Wahai pengaman segala yang takut Wahai penguat segala yang lemah Mudah bagiMu memudahkan segala yang susah Wahai yang tiada memerlukan penjelasan dan penafsiran Hajat kami kepadaMu amatlah banyak Engkau Maha Tahu dan melihatnya ya Allah, kami takut kepada-Mu selamatkan kami dari semua yang tak takut kepada-Mu Jaga kami dengan Mata-Mu yang tiada tidur Lindungi kami dengan perlindungan-Mu yang tak tertembus Kasihi kami dengan kuasa-Mu atas kami Jangan binasakan kami, karena Engkaulah harapan kami Musuh-musuh kami dan semua yang ingin mencelakai kami tak akan sampai kepada kami, langsung atau dengan perantara Tiada kemampuan pada mereka untuk menyampaikan bencana kepada kami ya Allah, jangan kiranya Engkau cegahkan kami dari kebaikan yang ada pada-Mu karena kejahatan pada diri kami ya Allah,ampunan-Mu lebih luas dari dosa-dosa kamidan rahmah kasih sayangMu lebih kami harapkan daripaa amal usaha kami sendiri ya Allah, jadikan kami kebanggaan hamba dan nabi-Mu Muhammad SAW di padang mahsyar nanti saat para rakyat kecewa dengan para pemimpin penipu yang memimpin dengan kejahilan dan hawa nafsu saat para pemimpin cucui tangan dan berlari dari tanggung jawab berikan kami pemimpin berhati lembut bagai Nabi yang menangis dalam sujud malamnya tak henti menyebut kami, ummati...ummati.. ummatku..ummatku.. Pemimpin bagai para khalifah yang rela mengorbankan semua kekayaan demi perjuangan yang rela berlapar-lapar agar rakyatnya sejahtera yang lebih takut bahaya maksiat daripada lenyanya pangkat dan kekayaan "Ya Tuhan kami, tuangkanlah kesabaran atas diri kami dan kokohkanlah pendirian kami, dan tolonglah kami terhadap orang-orang kafir"(QS. Al-Baqarah 250) "Ya Tuhan kami, berlah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat, dan peliharalah kami dari siksa neraka" (QS.Al-Baqarah:201) Amiin Yaa Rabbal'Alamiin.. sayap yang tak akan pernah patah0 komentaroleh: ust. Anis matta,lc Mari kita bicara tentang orang-orang yang patah hati. Atau kasihnya tak sampai, atau cintanya tertolak. Seperti sayap-sayap Gibran yang patah. Atau kisah kasih Zainuddin dan Hayati yang kandas ketika kapal Vanderwicjk tenggelam. Atau cinta Qais dan Laila yang membuat mereka ‘majnun’, lalu mati. Atau, jangan-jangan ini juga cerita tentang cintamu sendiri, yang kandas ditempa takdir, atau layu tak berbalas. Itu cerita cinta yang digali dari mata air air mata. Dunia tidak merah jambu disana. Hanya ada Qais yang telah majnun dan meratap di tengah gurun kenestapaan sembari memanggil burung-burung "O burung, adakah yang mau meminjamkan sayap Aku ingin terbang menjemput sang kekasih hati." Mari kita ikut berbelasungkawa untuk mereka. Mereka orang-orang baik yang perlu dikasihani. Atau, jika mereka adalah kamu sendiri, maka terimalah ucapan belasungkawaku, dan belajarlah mengasihani dirimu sendiri. Di alam jiwa, sayap cinta itu sesungguhnya tak pernah patah. Kasih selalu sampai disana, Apabila ada cinta dihati yang satu, pastilah ada cinta di hati yang lain,” kata Rumi, “Sebab tangan yang satu tak kan bisa bertepuk tanpa tangan yang lain”. Mungkin Rumi bercerita tentang apa yang seharusnya. Sementara kita menyaksikan fakta lain. Kalau cinta berawal dan berakhir karena Allah, maka cinta yang lain hanya upaya menunjukkan cinta pada-Nya, pengejawantahan ibadah hati yang paling hakiki: Selamanya memberi yang bisa kita berikan, selamanya membahagiakan orang-orang yang kita cintai. Dalam makna memberi itu posisi kita sangat kuat: kita tak perlu kecewa atau terhina dengan penolakan, atau lemah atau melankolik saat kasih kandas karena takdir-Nya. Sebab disini kita justru sedang melakukan sebuah “pekerjaan jiwa” yang besar dan agung: mencintai. Ketika kasih tak sampai, atau uluran tangan cinta tertolak, yang sesungguhnya terjadi hanyalah “kesempatan memberi” yang lewat. Hanya itu. Setiap saat kesempatan semacam itu dapat terulang. Selama kita memiliki cinta, memiliki “sesuatu” yang dapat kita berikan, Maka persoalan penolakan atau ketidaksampaian, jadi tidak relevan. Ini hanya murni masalah waktu. Para pecinta sejati selamanya hanya bertanya: “Apakah yang akan kuberikan?” Tentang kepada “siapa” sesuatu itu diberikan, itu menjadi sekunder. Jadi tidak hanya patah atau hancur karena lemah. Kita lemah karena posisi jiwa kita salah. Seperti ini: kita mencintai seseorang, lalu kita menggantungkan harapan kebahagiaan hidup dengan hidup bersamanya! Maka ketika dia menolak untuk hidup bersama, itu lantas menjadi sumber kesengsaraan. Kita menderita bukan karena kita mencintai. Tapi karena kita menggantungkan sumber kebahagiaan kita pada kenyataan bahwa orang lain mencintai kita. dunia demokrasi0 komentarjika politik adalah sesuatu yang abu-abu
yang menjadi senjata para penguasa yang menjadi sindikat pengejar harta dunia maka aku bukanlah itu Namun jika politik adalah pembelaan & perjuangan yang membangunkan keberanian retorika dan lantang meneriakkan keadilan maka aku adalah politikus itu Jika demokrasi adalah belenggu penjajahan diramaikan oleh tangan-tangan gila jabatan disetir untuk mengubur kepribadian anak bangsa maka itu bukan tempatnya Namun jika demokrasi adalah sebuah peluru pembebas yang pengusungnya adalah teladan sejati dan ideologinya menembus keangkuhan parlemen maka itu adalah kendaraannya.. (forwarded by a friend) SyurAA...anugerah yang dipertanyakan0 komentar“..Karena jiwa tidak akan pernah menang dalam semua kecamuk perang, kecuali setelah ia menang dalam pertempuran rasa, pertarungan akhlaq, dan pergulatan manhaj..” -Sayyid Quthb, Fii Zhilaalil Quran 2/383- “Apa makna sebuah kekalahan?”, begitu seorang kawan berbisik ketika menyeksamai penilaian hasil kerja da’wah kami. Saya helakan nafas panjang membersamainya. Lalu kata-kata saya berlayar ke kedalaman matanya. “Sebuah keyakinan akan kemenangan telah menggerakkan kita untuk berpeluh-peluh, bersicepat, dan mengikis harta, raga, serta jiwa. Lalu hasilnya membuat kita jerih, perih. Zhahirnya adalah kerugian, bukan?” Tetapi tahukah engkau kawan, apa makna kerugian? Saya cobakan senyum tercantik saya untuknya. Lalu kalimat berikut ini berhembus mesra di antara kami. “Kerugian tak jadi soal, jika ianya menumbuhkan segolongan yang terlatih, kelompok yang menyadari dan menghargai tanggungjawab. Tiadanya kesalahan, ketergelinciran, dan kerugian dalam kehidupan ini tidaklah bermakna keuntungan, jika hasilnya adalah jama’ah yang tetap kerdil, bagai bayi yang tak bertumbuh, tak berkembang, dan selalu menghajatkan penjagaan.” Apakah saya sedang menghibur diri dengan mendusta jiwa? Semoga tidak. Kata-kata Sayyid Quthb yang saya kutip sebagai awalan adalah kerangka untuk memaknai kekalahan perang sebagai kemenangan jiwa. Sayyid menyebut tiga medan; pertempuran rasa, pertarungan akhlaq, dan pergulatan manhaj. Di kesempatan yang pendek ini, izinkan saya hanya bicara tentang yang ketiga; pergulatan manhaj. Dan kita ambil syuraa sebagai contoh tentang manhaj yang bergulat itu. Kapankah syuraa –musyawarah- difirmankan dengan kalimat perintah oleh Allah, ‘Azza wa Jalla? Takjub saya di saat mendapatkan jawabnya. Tapi sebelum berbagi jawab ini, mari kita ingat lagi secercah kisah tentang Perang Uhud. Dalam sidang menjelang perang, para sahabat bersikukuh untuk keluar menyambut musuh. Tapi Sang Nabi bermimpi ada lembu disembelih, mata pedang beliau tergigir, dan beliau memasukkan tangannya ke dalam baju besi kokoh. Beberapa ekor lembu yang dikayau itu beliau artikan akan ada sahabat-sahabat beliau yang terbunuh. Mata pedang yang rompal berarti anggota keluarga beliau akan mendapatkan mushibah. Dan baju besi yang kokoh itu adalah kota Madinah. Kita sudah tahu kelanjutan kisah. Atas pendapat sahabat-sahabatnya, Sang Nabi mengalah. Mereka berangkat menghadang musuh di Uhud. ’Abdullah ibn Ubay, si munafik, yang dalam musyawarah habis-habisan mendukung mimpi Sang Nabi berkata, ”Sungguh celaka kalian yang menentang Rasulullah!” Lalu bersama sepertiga pasukan ia menyempal pergi, meninggalkan Sang Nabi. Dan hari Uhud terjadilah. Kemenangan dan kekalahan dipergilirkan. Tujuh puluh lelaki mulia menjadi syuhada’. Sang Nabi luka-luka, bahkan dikabarkan hilang nyawa. Hm.. Izinkan saya bicara kali lain tentang keguncangan perasaan dan akhlaq dalam kekalahan ini. Kali ini, kita hanya akan bicara tentang pergulatan manhaj. Dan manhaj yang paling terguncang oleh kekalahan ini adalah prinsip syuraa. Dulu, di Surat Asy Syuraa ayat ketigapuluh delapan, Allah memuji syuraa sebagai bagian dari urusan orang-orang yang mematuhi seruan Rabbnya, yang mendirikan shalat dan menafkahkan rizqi di jalanNya. Kini, bagaimana nasib syuraa setelah kekalahan Uhud? Bukankah dalam syuraa menjelang perang, mereka telah memenangkan pendapat mayoritas atas mimpi meyakinkan Sang Nabi? Lalu mereka kalah. Syubhat-syubhat berkerumuk. Syuraa-kah penyebab kekalahan itu? Bukankah ada serpih kebenaran dalam ocehan panas ’Abdullah ibn Ubay? Katanya, ”Aah.. Sudah kukatakan pada kalian jangan menentang mimpi Sang Nabi, jangan keluar dari Madinah, dan jangan mengikutinya menyongsong musuh!” Syuraa.. Masihkah ia akan dilakukan jika hasilnya sebagaimana mereka rasakan; kekalahan yang memedihkan? Atau biarkanlah Sang Nabi yang kata-katanya suci mengatur segalanya dan mereka siap sedia bekerja tanpa kata? Subhanallah, inilah kalimat yang difirmankan oleh Allah Subhanahu wa Ta’alaa kepada RasulNya: “..Maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan tetap bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu..” (Ali ‘Imran 159) Ternyata, di saat syuraa diragukan dan dipertanyakan, justru Allah menjadikannya perintah. Di saat syuraa mereka maknai sebagai sebab kekalahan, Allah mengatakan, “Bukan! Dan tetaplah bermusyawarah!” Sebuah manhaj dalam agama ini telah Allah tegakkan dengan ayat ini. Bahwa Sang Nabi pendapatnya benar, tetapi syuraa adalah jalan yang lebih dekat pada ridhaNya. Bahwa memang ada kekalahan, tetapi pergulatan manhaj harus dimenangkan; syuraa! Dan bukankah kekalahan datang justru dari ketidaktaatan para pemanah di atas bukit atas hasil syuraa? Tegasnya, syuraa tak bersalah. Dia harus dimenangkan dalam pergulatan manhaj. Dan dilanjutkan. Akhirnya, ada seorang lelaki Quraisy menyimpulkan tafsir ayat ini. “Keputusan yang salah dari sebuah musyawarah”, tulisnya, “Jauh lebih baik daripada pendapat pribadi, betapapun benarnya.” Wah, sejauh itukah? Ya. Lelaki ini sedang memberi kita sebuah kaidah tentang syuraa; manhaj agama Sang Nabi yang harus kita menangkan dalam pergulatan melawan syubhat dalam jiwa dan hati. Saya kira dia tidak asal memfatwa. Sebab dialah sang ‘alim, Imam Asy Syafi’i.
Subscribe to:
Posts (Atom)
![]() About MeRecent CommentsLabels
Annyyeong! |